BAB 7 SUMBER HUKUM ISLAM
Pengertian alquran
Apa itu Al-Qur’an? Dari
segi bahasa, Al-Quran berarti “yang dibaca” atau “bacaan”. Sedangkan, menurut
istilah pengertian Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang berisi
firman-firman Allah SWT, yang diwahyukan dalam bahasa Arab kepada Nabi Muhammad dan membacanya bernilai ibadah. Al-Qur’an
berfungsi sebagai petunjuk/pedoman bagi umat manusia dalam mencapai kebahagiaan
hidup di dunia dan akhirat. Sebagai pedoman hidup, isi/kandungan Al-Qur’an
terbagi menjadi tiga pembahasan pokok yaitu akidah, ibadah, dan prinsip-prinsip
syariat. Al-Qur’an mempunyai kedudukan sebagai sumber
utama hukum Islam. Hukum Islam adalah hukum ke-Tuhanan, Allah telah
mensyari’atkan kepada para hamba-Nya. Al-Qur’an merupakan dalil pokok dan
merupakan jalan untuk mengetahui hukum-hukum ini. Al-Qur’an adalah firman Allah
yang merupakan jalan pertama untuk mengetahui hukum-hukum-Nya. Alasan yang
menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia dan hukum-hukum yang
ada didalamnya merupakan undang-undang yang wajib ditaati. Sebab kebenaran dari
Al-Qur’an tidak diragukan.
Setiap muslim tentu menyadari bahwa Al-Qur’an adalah
kitab suci yang merupakan pedoman hidup dan dasar setiap langkah hidup.
Al-Qur’an bukan hanya sekedar mengatur hubungan antara manusia dengan Allah
SWT, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan manusia serta dengan
lingkungannya. Itulah sebabnya, Al-Qur’an menjadi sumber hukum yang pertama dan
utama bagi umat Islam. Seseorang dikatakan berpegang teguh pada Al-Qur’an
apabila selalu mengamalkan apa yang diajarkan dalam Al-Qur’an. Dengan
Al-Qur’an, manusia diharapkan dapat memiliki akhlak yang
terpuji.
Isi kandungan
Al Qur’an
Isi kandungan
Al Qur’an dilihat dari segi kuantitas dan kualitas.
1. Segi Kuantitas
Al Quran terdiri dari
30 Juz, 114 surat, 6.236 ayat, 323.015 huruf dan 77.439 kosa kata
2. Segi Kualitas
Isi pokok Al Qur’an
(ditinjau dari segi hukum) terbagi menjadi 3 (tiga) bagian:
1.
Hukum yang berkaitan dengan
ibadah: hukum yang mengatur hubungan rohaniyah dengan Allah SWT dan hal – hal
lain yang berkaitan dengan keimanan. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu
Tauhid atau Ilmu Kalam
2.
Hukum yang berhubungan dengan
Amaliyah yang mengatur hubungan dengan Allah, dengan sesama dan alam sekitar.
Hukum ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum syariat. Ilmu yang
mempelajarinya disebut Ilmu Fiqih
3.
Hukum yang berkaitan dngan
akhlak. Yakni tuntutan agar setiap muslim memiliki sifat – sifat mulia
sekaligus menjauhi perilaku – perilaku tercela.
Bila ditinjau dari
Hukum Syara terbagi menjadi dua kelompok:
1.
Hukum yang berkaitan dengan
amal ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji, nadzar, sumpah dan sebagainya
yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan tuhannya.
2.
Hukum yang berkaitan dengan
amal kemasyarakatan (muamalah) seperti perjanjian perjanjian, hukuman (pidana),
perekonomian, pendidikan, perkawinan dan lain sebagainya.
Hukum yang berkaitan
dengan muamalah meliputi:
1.
Hukum yang berkaitan dengan
kehidupan manusia dalam berkeluarga, yaitu perkawinan dan warisan
2.
Hukum yang berkaitan dengan perjanjian,
yaitu yang berhubungan dengan jual beli (perdagangan), gadai-menggadai,
perkongsian dan lain-lain. Maksud utamanya agar hak setiap orang dapat
terpelihara dengan tertib
3.
Hukum yang berkaitan dengan
gugat menggugat, yaitu yang berhubungan dengan keputusan, persaksian dan sumpah
4.
Hukum yang berkaitan dengan
jinayat, yaitu yang berhubungan dengan penetapan hukum atas pelanggaran
pembunuhan dan kriminalitas
5.
Hukum yang berkaitan dengan
hubungan antar agama, yaitu hubungan antar kekuasan Islam dengan non-Islam
sehingga tercpai kedamaian dan kesejahteraan.
6.
Hukum yang berkaitan dengan
batasan pemilikan harta benda, seperti zakat, infaq dan sedekah.
Ketetapan hukum yang
terdapat dalam Al Qur’an ada yang rinci dan ada yang garis besar. Ayat ahkam
(hukum) yang rinci umumnya berhubungan dengan masalah ibadah, kekeluargaan dan
warisan. Pada bagian ini banyak hukum bersifat ta’abud (dalam rangka ibadah
kepada Allah SWT), namun tidak tertutup peluang bagi akal untuk memahaminya
sesuai dengan perubahan zaman. Sedangkan ayat ahkam (hukum) yang bersifat garis
besar, umumnya berkaitan dengan muamalah, seperti perekonomian, ketata
negaraan, undang-undang sebagainya. Ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan
masalah ini hanya berupa kaidah-kaidah umum, bahkan seringkali hanya disebutkan
nilai-nilainya, agar dapat ditafsirkan sesuai dengan perkembangan zaman.
Selain ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan hukum, ada juga yang berkaitan dengan masalah dakwah, nasehat, tamsil, kisah sejarah dan lain-lainnya. Ayat yang berkaitan dengan masalah-masalah tersebut jumlahnya banyak sekali
Selain ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan hukum, ada juga yang berkaitan dengan masalah dakwah, nasehat, tamsil, kisah sejarah dan lain-lainnya. Ayat yang berkaitan dengan masalah-masalah tersebut jumlahnya banyak sekali
Keistimewaan alquran
1. Tidak sah shalat seseorang kecuali dengan membaca
sebagian ayat al-Qur’an (yaitu surat Al-Fatihah-Red) berdasarkan sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca surat
al-Fatihah”. [HR. Bukhari-Muslim]
2. Al-Qur’an terpelihara dari tahrif (perubahan) dan
tabdil (penggantian) sesuai dengan firman Allah Azza wa Jalla :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ
لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an dan
sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. [al-Hijr:9]
Adapun kitab-kitab samawi lainnya seperti Taurat dan
Injil telah banyak dirubah oleh pemeluknya.
3. Al-Qur’an terjaga dari pertentangan/kontrakdiksi (apa
yang ada di dalamnya) sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ وَلَوْ كَانَ مِنْ
عِندِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيرًا
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran? Kalau
kiranya Alquran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan
pertentangan yang banyak di dalamnya”. [an-Nisa’: 82]
4. Al-Qur’an mudah untuk dihafal berdasarkan firman
Allah:
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْءَانَ لِلذِّكْرِ
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk
pelajaran”. [al-Qamar: 32]
5. Al-Qur’an merupakan mu’jizat dan tidak seorangpun
mampu untuk mendatangkan yang semisalnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
menantang orang Arab (kafir Quraisy) untuk mendatangkan semisalnya, maka mereka
menyerah (tidak mampu). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ
مِّثْلِهِ
“Atau (patutkah) mereka mengatakan: “Muhammad
membuat-buatnya”. Katakanlah: “(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka
cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya … “. [Yunus: 38]
6. Al-Qur’an mendatangkan ketenangan dan rahmat bagi
siapa saja yang membacanya, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ
يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ
عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ
وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
“Tidaklah berkumpul suatu kaum dalam suatu majlis
kecuali turun pada mereka ketenangan dan diliputi oleh rahmat dan dikerumuni
oleh malaikat dan Allah akan menyebutkan mereka di hadapan para malaikatnya”.
[HR. Muslim].
7. Al-Qur’an hanya untuk orang yang hidup bukan orang
yang mati berdasarkan firman Allah:
لِّيُنذِرَ مَن كَانَ حَيًّا
“Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada
orang-orang yang hidup (hatinya)”. [Yaasiin: 70]
Dan firman Allah:
وَأَن لَّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain
apa yang telah diusahakannya”. [an-Najm:39]
Imam Syafi’i mengeluarkan pendapat dari ayat ini bahwa
pahala bacaan al-Qur’an tidak akan sampai kepada orang-orang yang mati. Karena
bacaan tersebut bukan amalan si mayit. Adapun bacaan seorang anak untuk kedua
orang tuanya, maka pahalanya bisa sampai kepadanya, karena seorang anak
merupakan hasil usaha orang tua, sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah
n .
8. Al-Qur’an sebagai penawar (obat) hati dari penyakit
syirik, nifak dan yang lainnya. Di dalam al-Qur’an ada sebagian ayat-ayat dan
surat-surat (yang berfungsi) untuk mengobati badan seperti surat al-Fatihah,
an-Naas dan al-Falaq serta yang lainnya tersebut di dalam sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
يَآأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَآءَتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن
رَّبِّكُمْ وَشِفَآءٌ لِّمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu
pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam
dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman”. [Yunus :57]
Begitu pula dalam firmanNya:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٌ
وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ
“Dan Kami turunkan dari al-Qur’an suatu yang menjadi
penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman”. (ِAl-Israa’:82)
9. Al-Qur’an akan memintakan syafa’at (kepada Allah)
bagi orang yang membacanya, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ
الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لِأَصْحَابِهِ
“Bacalah al-Qur’an, karena sesungguhnya ia akan datang
di hari kiamat memohonkan syafa’at bagi orang yang membacanya (di dunia)”. [HR.
Muslim].
10. Al-Qur’an sebagai hakim atas kitab-kitab sebelumnya,
sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
وَأَنزَلْنَآإِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا
لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Alquran dengan membawa
kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan
sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu”. [al-Maidah: 48]
Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata sesudah menyebutkan
beberapa pendapat tentang tafsir (مُهَيْمِنًا ): “Pendapat-pendapat ini mempunyai
arti yang berdekatan (sama), karena istilah (مُهَيْمِنًا ) mencakup semuanya,
yaitu sebagai penjaga, sebagai saksi, dan hakim terhadap kitab-kitab
sebelumnya. Al-Qur’an adalah kitab yang paling mencakup dan sempurna, yang
diturunkan sebagai penutup kitab-kitab sebelumnya, yang mencakup seluruh
kebaikan (pada kitab-kitab) sebelumnya. Dan ditambah dengan
kesempurnaan-kesempurnaan yang tidak (ada dalam kitab) yang lainnya. Oleh
karena inilah Allah k menjadikannya sebagai saksi kebenaran serta hakim untuk semua
kitab sebelumnya, dan Allah menjamin untuk menjaganya. [Tafsir Ibnu Katsir juz
2 hal. 65]
Pengertian
al-hadits
Hadits merupakan
segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun
ketetapan (taqrir). Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al
Qur’an. Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan
perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam haditsnya.
Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT: (lihat Al-Qur’an onlines di google)
!$tBur ãNä39s?#uä
ãAqß™§9$# çnrä‹ã‚sù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4
Artinya: “ … Apa yang
diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu
maka tinggalkanlah, …” (QS Al Hasyr : 7)
Perintah meneladani
Rasulullah SAW ini disebabkan seluruh perilaku Nabi Muhammad SAW mengandung
nilai-nilai luhur dan merupakan cerminan akhlak mulia. Apabila seseorang bisa
meneladaninya maka akan mulia pula sikap dan perbutannya. Hal tersebut
dikarenakan Rasulullah SAW memilki akhlak dan budi pekerti yang sangat mulia.
Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua, juga dinyatakan oleh Rasulullah
SAW:
Artinya: “Aku
tinggalkan dua perkara untukmu seklian, kalian tidak akan sesat selama kalian
berpegangan kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunah rasulnya”. (HR
Imam Malik)
Hadits merupakan
sumber hukum Islam yang kedua memilki kedua fungsi sebagai berikut.
1.
Memperkuat hukum-hukum yang
telah ditentukan oleh Al Qur’an, sehingga kedunya (Al Qur’an dan Hadits)
menjadi sumber hukum untuk satu hal yang sama. Misalnya Allah SWT didalam Al
Qur’an menegaskan untuk menjauhi perkataan dusta, sebagaimana ditetapkan dalam
firmannya : (lihat Al-Qur’an onlines di google)
Artinya: “…Jauhilah
perbuatan dusta…” (QS Al Hajj : 30)
Ayat diatas juga
diperkuat oleh hadits-hadits yang juga berisi larangan berdusta.
1.
Memberikan rincian dan
penjelasan terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang masih bersifat umum. Misalnya,
ayat Al Qur’an yang memerintahkan shalat, membayar zakat, dan menunaikan ibadah
haji, semuanya bersifat garis besar. Seperti tidak menjelaskan jumlah rakaat
dan bagaimana cara melaksanakan shalat, tidak merinci batas mulai wajib zakat,
tidak memarkan cara-cara melaksanakan haji. Rincian semua itu telah dijelaskan
oelh rasullah SAW dalam haditsnya. Contoh lain, dalam Al Qur’an Allah SWT
mengharamkan bangkai, darah dan daging babi. Firman Allah sebagai berikut:
(lihat Al-Qur’an onlines di google)
Artinya: “Diharamkan bagimu bangkai, darah,dan daging babi…” (QS Al Maidah : 3)
Artinya: “Diharamkan bagimu bangkai, darah,dan daging babi…” (QS Al Maidah : 3)
Dalam ayat tersebut,
bangkai itu haram dimakan, tetap tidak dikecualikan bangkai mana yang boleh
dimakan. Kemudian datanglah hadits menjelaskan bahwa ada bangkai yang boleh
dimakan, yakni bangkai ikan dan belalang. Sabda Rasulullah SAW:
اُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَ دَمَانِ, فَامَّا الْمَيْتَتَانِ : الْحُوْتُ وَالْجَرَادُ, وَاَمَّا
الدَّمَانِ : فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالِ ( رواه ابن الماجه و الحاكم)
Artinya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai adalah ikan dan belalalng, sedangkan dua macam darah adalah hati dan limpa…” (HR Ibnu Majjah)
اُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَ دَمَانِ, فَامَّا الْمَيْتَتَانِ : الْحُوْتُ وَالْجَرَادُ, وَاَمَّا
الدَّمَانِ : فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالِ ( رواه ابن الماجه و الحاكم)
Artinya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai adalah ikan dan belalalng, sedangkan dua macam darah adalah hati dan limpa…” (HR Ibnu Majjah)
1.
Menetapkan hukum atau
aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al Qur’an. Misalnya, cara menyucikan
bejana yang dijilat anjing, dengan membasuhnya tujuh kali, salah satunya
dicampur dengan tanah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
طُهُوْرُ اِنَاءِ اَحَدِكُمْ اِذَا وَلِغَ فِيْهِ الْكَلْبُ اَنْ يُغْسِلَ سَبْعَ مَرَّاتٍ اَوْلَهِنَّ بِالتُّرَابِ ( رواه مسلم و هحمد و هبو داود و البيهقى)
طُهُوْرُ اِنَاءِ اَحَدِكُمْ اِذَا وَلِغَ فِيْهِ الْكَلْبُ اَنْ يُغْسِلَ سَبْعَ مَرَّاتٍ اَوْلَهِنَّ بِالتُّرَابِ ( رواه مسلم و هحمد و هبو داود و البيهقى)
Artinya: “Mennyucikan
bejanamu yang dijilat anjing adlah dengan cara membasuh sebanyak tujuh kali
salah satunya dicampur dengan tanah” (HR Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan Baihaqi)
Hadits menurut
sifatnya mempunyai klasifikasi sebagai berikut:
1.
Hadits Shohih, adalah hadits
yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung,
tidak ber illat, dan tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu
penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshohehan suatu hadits
2.
Hadits Hasan, adalah hadits
yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya (hafalannya),
bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat dan kejanggalan pada matannya.
Hadits Hasan termasuk hadits yang makbul biasanya dibuat hujjah untuk sesuatu
hal yang tidak terlalu berat atau tidak terlalu penting
3.
Hadits Dhoif, adalah hadits yang
kehilangan satu syarat atau lebih syarat-syarat hadits shohih atau hadits
hasan. Hadits dhoif banyak macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu
sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau
hasan yang tidak dipenuhi
Adapun syarat-syarat
suatu hadits dikatakan hadits yang shohih, yaitu:
1.
Rawinya bersifat adil
2.
Sempurna ingatan
3.
Sanadnya tidak terputus
4.
Hadits itu tidak berilat, dan
5.
Hadits itu tidak janggal
C. Ijtihad
Ijtihad ialah
berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak ada
ketetapannya, baik dalam Al Qur’an maupun Hadits, dengan menggunkan akal
pikiran yang sehat dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan
hukum-hukumyang telah ditentukan. Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum
yang ketiga. Hasil ini berdasarkan dialog nabi Muhammad SAW dengan sahabat yang
bernama muadz bin jabal, ketika Muadz diutus ke negeri Yaman. Nabi SAW,
bertanya kepada Muadz,” bagaimana kamu akan menetapkan hukum kalau dihadapkan
pada satu masalah yang memerlukan penetapan hukum?”, muadz menjawab, “Saya akan
menetapkan hukumdengan Al Qur’an, Rasul bertanya lagi, “Seandainya tidak
ditemukan ketetapannya di dalam Al Qur’an?” Muadz menjawab, “Saya akan tetapkan
dengan Hadits”. Rasul bertanya lagi, “seandainya tidak engkau temukan
ketetapannya dalam Al Qur’an dan Hadits”, Muadz menjawab” saya akan berijtihad
dengan pendapat saya sendiri” kemudian, Rasulullah SAW menepuk-nepukkan bahu
Muadz bi Jabal, tanda setuju. Kisah mengenai Muadz ini menajdikan ijtihad
sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam setelah Al Qur’an dan hadits.
Untuk melakukan ijtihad (mujtahid) harus memenuhi bebrapa syarat berikut ini:
Untuk melakukan ijtihad (mujtahid) harus memenuhi bebrapa syarat berikut ini:
1.
mengetahui isi Al Qur’an dan
Hadits, terutama yang bersangkutan dengan hukum
2.
memahami bahasa arab dengan
segala kelengkapannya untuk menafsirkan Al Qur’an dan hadits
3.
mengetahui soal-soal ijma
4.
menguasai ilmu ushul fiqih dan
kaidah-kaidah fiqih yang luas.
Islam menghargai
ijtihad, meskipun hasilnya salah, selama ijtihad itu dilakukan sesuai dengan
persyaratan yang telah ditentukan. Dalam hubungan ini Rasulullah SAW bersabda:
اِذَا حَكَمَ الْحَاكِمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَصَابَ فَلَهُ اَجَرَانِ وَ اِذَا حَكَمَ وَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَخْطَأَ فَلَهُ اَجْرٌ ( رواه البخارى و مسلم )
Artinya: “Apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala dan apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara ia melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya salah, maka ia memperoleh satu pahala.” (HR Bukhari dan Muslim)
اِذَا حَكَمَ الْحَاكِمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَصَابَ فَلَهُ اَجَرَانِ وَ اِذَا حَكَمَ وَاجْتَهَدَ ثُمَّ اَخْطَأَ فَلَهُ اَجْرٌ ( رواه البخارى و مسلم )
Artinya: “Apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala dan apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara ia melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya salah, maka ia memperoleh satu pahala.” (HR Bukhari dan Muslim)
Islam bukan saja
membolehkan adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad, tetapi juga
menegaskan bahwa adanya beda pendapat tersebut justru akan membawa rahmat dan
kelapangan bagi umat manusia. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:
…اِخْتِلاَ فِ اُمَّتِيْ رَحْمَةٌ (رواه نصر المقدس)
Artinya: ”… Perbedaan pendapat di antara umatku akan membawa rahmat” (HR Nashr Al muqaddas)
…اِخْتِلاَ فِ اُمَّتِيْ رَحْمَةٌ (رواه نصر المقدس)
Artinya: ”… Perbedaan pendapat di antara umatku akan membawa rahmat” (HR Nashr Al muqaddas)
Dalam berijtihad
seseorang dapat menmpuhnya dengan cara ijma’ dan qiyas. Ijma’ adalah
kese[akatan dari seluruh imam mujtahid dan orang-orang muslim pada suatu masa
dari beberapa masa setelah wafat Rasulullah SAW. Berpegang kepada hasil ijma’
diperbolehkan, bahkan menjadi keharusan. Dalilnya dipahami dari firman Allah
SWT: (lihat Al-Qur’an onlines di google)
Artinya: “Hai orang-oran
yang beriman, taatilah Allah dan rasuknya dan ulil amri diantara kamu….” (QS An
Nisa : 59)
Dalam ayat ini ada
petunjuk untuk taat kepada orang yang mempunyai kekuasaan dibidangnya, seperti
pemimpin pemerintahan, termasuk imam mujtahid. Dengan demikian, ijma’ ulam
dapat menjadi salah satu sumber hukum Islam. Contoh ijam’ ialah mengumpulkan
tulisan wahyu yang berserakan, kemudian membukukannya menjadi mushaf Al Qur’an,
seperti sekarang ini
Qiyas (analogi)
adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada hukumnya dengan kejadian
lain yang sudah ada hukumnya karena antara keduanya terdapat persamaan illat
atau sebab-sebabnya. Contohnya, mengharamkan minuman keras, seperti bir dan
wiski. Haramnya minuman keras ini diqiyaskan dengan khamar yang disebut dalam
Al Qur’an karena antara keduanya terdapat persamaan illat (alasan), yaitu
sama-sama memabukkan. Jadi, walaupun bir tidak ada ketetapan hukmnya dalam Al
Qur’an atau hadits tetap diharamkan karena mengandung persamaan dengan khamar
yang ada hukumnya dalam Al Qur’an.
Sebelum mengambil keputusan dengan menggunakan qiyas maka ada baiknya mengetahui Rukun Qiyas, yaitu:
Sebelum mengambil keputusan dengan menggunakan qiyas maka ada baiknya mengetahui Rukun Qiyas, yaitu:
1.
Dasar (dalil)
2.
Masalah yang akan diqiyaskan
3.
Hukum yang terdapat pada dalil
4.
Kesamaan sebab/alasan antara
dalil dan masalah yang diqiyaskan
Bentuk Ijtihad yang
lain
·
Istihsan/Istislah, yaitu
mentapkan hukum suatu perbuatan yang tidak dijelaskan secara kongret dalam Al
Qur’an dan hadits yang didasarkan atas kepentingan umum atau kemashlahatan umum
atau unutk kepentingan keadilan
·
Istishab, yaitu meneruskan
berlakunya suatu hukum yang telah ada dan telah ditetapkan suatu dalil, sampai
ada dalil lain yang mengubah kedudukan dari hukum tersebut
·
Istidlal, yaitu menetapkan
suatu hukum perbuatan yang tidak disebutkan secara kongkret dalam Al Qur’an dan
hadits dengan didasarkan karena telah menjadi adat istiadat atau kebiasaan
masyarakat setempat. Termasuk dalam hal ini ialah hukum-hukum agama yang
diwahyukan sebelum Islam. Adat istiadat dan hukum agama sebelum Islam bisa
diakui atau dibenarkan oleh Islam asalkan tidak bertentangan dengan ajaran Al
Qur’an dan hadits
·
Maslahah mursalah, ialah
maslahah yang sesuai dengan maksud syarak yang tidak diperoeh dari pengajaran
dalil secara langsung dan jelas dari maslahah itu. Contohnya seperti
mengharuskan seorang tukang mengganti atau membayar kerugian pada pemilik
barang, karena kerusakan diluar kesepakatan yang telah ditetapkan.
·
Al ‘Urf, ialah urursan yang
disepakati oelh segolongan manusia dalam perkembangan hidupnya
·
Zara’i, ialah
pekerjaan-pekerjaan yang menjadi jalan untuk mencapai mashlahah atau untuk
menghilangkan mudarat.
D. Pembagian
Hukum dalam Islam
Hukum dalam Islam ada
lima yaitu:
1.
Wajib, yaitu perintah yang
harus dikerjakan. Jika perintah tersebut dipatuhi (dikerjakan), maka yang
mebgerjakannya akan mendapat pahala, jika tidak dikerjakan maka ia akan berdosa
2.
Sunah, yaitu anjuran. Jika
dikerjakan dapat pahala, jika tidak dikerjakan tidak berdosa
3.
Haram, yaitu larangan keras.
Kalau dikerjakan berdosa jika tidak dikerjakan atau ditinggalkan mendapat
pahala, sebagaiman dijelaskan oleh nabi Muhammad SAW dalam sebuah haditsnya
yang artinya:
Jauhilah segala yang haram niscaya kamu menjadi orang yang paling beribadah. Relalah dengan pembagian (rezeki) Allah kepadamu niscaya kamu menjadi orang paling kaya. Berperilakulah yang baik kepada tetanggamu niscaya kamu termasuk orang mukmin. Cintailah orang lain pada hal-hal yang kamu cintai bagi dirimu sendiri niscaya kamu tergolong muslim, dan janganlah terlalu banyak tertawa. Sesungguhnya terlalu banyak tertawa itu mematikan hati. (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Jauhilah segala yang haram niscaya kamu menjadi orang yang paling beribadah. Relalah dengan pembagian (rezeki) Allah kepadamu niscaya kamu menjadi orang paling kaya. Berperilakulah yang baik kepada tetanggamu niscaya kamu termasuk orang mukmin. Cintailah orang lain pada hal-hal yang kamu cintai bagi dirimu sendiri niscaya kamu tergolong muslim, dan janganlah terlalu banyak tertawa. Sesungguhnya terlalu banyak tertawa itu mematikan hati. (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
4.
Makruh, yaitu larangan yang
tidak keras. Kalau dilanggar tidak dihukum (tidak berdosa), dan jika
ditinggalkan diberi pahala
5.
Mubah, yaitu sesuatu yang boleh
dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan. Kalau dikerjakan tidak berdosa, begitu
juga kalau ditinggalkan.
Dalil fiqih adalah Al
Qur’an, hadits, ijma’ mujtahidin dan qiyas. Sebagian ulama menambahkan yaitu
istihsan, istidlal, ‘urf dan istishab.
Hukum-hukum itu
ditinjau dari pengambilannya terdiri atas empat macam.
1.
Hukum yang diambil dari nash
yang tegas, yakni adanya dan maksudnya menunjukkan kepada hukum itu
Hukum seperti ini tetap, tidak berubah dan wajib dijalankan oleh seluruh kaum muslim, tidak seorangpun berhak membantahnya. Seperti wajib shalat lima waktu, zakat, puasa, haji dan syarat syah jual beli dengan rela. Imam syafi’ie berpendapat apabila ada ketentuan hukum dari Allah SWT, pada suatu kejadian, setiap muslim wajib mengikutinya.
Hukum seperti ini tetap, tidak berubah dan wajib dijalankan oleh seluruh kaum muslim, tidak seorangpun berhak membantahnya. Seperti wajib shalat lima waktu, zakat, puasa, haji dan syarat syah jual beli dengan rela. Imam syafi’ie berpendapat apabila ada ketentuan hukum dari Allah SWT, pada suatu kejadian, setiap muslim wajib mengikutinya.
2.
Hukum yang diambil dari nash
yang tidak yakin maksudnya terhadap hukum-hukum itu.
Dalam hal seperti ini terbukalah jalan mujtahid untuk berijtihad dalam batas memahami nas itu. Para mujtahid boleh mewujudkan hukum atau menguatkan salah satu hukum dengan ijtihadnya. Umpamanya boleh atau tidakkah khiar majelis bagi dua orang yang berjual beli, dalam memahami hadits:
Dalam hal seperti ini terbukalah jalan mujtahid untuk berijtihad dalam batas memahami nas itu. Para mujtahid boleh mewujudkan hukum atau menguatkan salah satu hukum dengan ijtihadnya. Umpamanya boleh atau tidakkah khiar majelis bagi dua orang yang berjual beli, dalam memahami hadits:
اَلْبَيْعَانِ
بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقاً
Dua orang yang jual
beli boleh memilih antara meneruskan jual beli atau tidak selama keduanya belum
berpisah. Kata “berpisah” yang dimaksud dalam hadits ini mungkin berpisah badan
atau pembicaraan, mungkin pula ijab dan kabul. Sperti wajib menyapu semua
kepala atau sebagian saja ketika wudhu’, dalam memahami ayat:
Artinya: “Dan sapulah
kepalamu” (QS Al Maidah : 6)
Juga dalam memahami hadits tidak halal binatang yang disembelih karena semata-mata tidak membaca basmalah.
Juga dalam memahami hadits tidak halal binatang yang disembelih karena semata-mata tidak membaca basmalah.
مَا اَنْهَرَ الدَّ مَ
وَ ذُ كِرَ اِسْمَ اللهِ عَلَيْهِ
Alat apapun yang
dapat mengalirkan darah dan disebutkan padanya nama Allah.
1.
Hukum yang tidak ada nas, baik
secara qa’i (pasti) maupun zanni (dugaan), tetapi pada suatu masa telah sepakat
(ijma’) mujtahidin atas hukum-hukumnya
Seperti bagian kakek seperenam, dan batalnya perkawinan seorang muslimah dengan laki-laki non muslim. Di sini tidak ada jalan untuk ijtihad, bahkan setiap muslim wajib mengakui untuk menjalankannya. Karena hukum yang telah disepakati oleh mujtahdidin itu adalah hukum untuk seluruh umat, dan umat itu menurut Rasulullah SAW tidak akan sepakat atas sesuatu yang sesat. Mujtahidin merupakan ulil amri dalam mempertimbangkan, sedangkan Allah SWT menyuruh hambanya menaati ulil amri. Sungguhpun begitu, kita wajib betul-betul mengetahui bahwa pada huku itu telah terjadi ijma’ (sepakat) ulama mujtahidin. Bukan hanya semata-mata hanyan didasarkan pada sangkaan yang tidak berdasarkan penelitian.
Seperti bagian kakek seperenam, dan batalnya perkawinan seorang muslimah dengan laki-laki non muslim. Di sini tidak ada jalan untuk ijtihad, bahkan setiap muslim wajib mengakui untuk menjalankannya. Karena hukum yang telah disepakati oleh mujtahdidin itu adalah hukum untuk seluruh umat, dan umat itu menurut Rasulullah SAW tidak akan sepakat atas sesuatu yang sesat. Mujtahidin merupakan ulil amri dalam mempertimbangkan, sedangkan Allah SWT menyuruh hambanya menaati ulil amri. Sungguhpun begitu, kita wajib betul-betul mengetahui bahwa pada huku itu telah terjadi ijma’ (sepakat) ulama mujtahidin. Bukan hanya semata-mata hanyan didasarkan pada sangkaan yang tidak berdasarkan penelitian.
2.
Hukum yang tidak ada dari nas,
baik qat’i ataupun zanni, dan tidak pula ada kesepakatan mujtahidin atas hukum
itu. Seperti yang banyak terdapat dalam kitab-kitab fiqih mazhab. Hukum seperti
ini adalah hasil pendapat seorang mujtahid. Pendapat menurut cara yang sesuai
denngan akal pikirannya dan keadaan lingkungannya masing-masing diwaktu
terjadinya peristiwa itu. Hukum-hukum seperti itu tidak tetap, mungkin berubah
dengan berubahnya keadaan atau tinjauannya masing-masing. Maka mujtahid dimasa
kini atau sesduahnya berhak membantah serta menetapkan hukum yang lain.
Sebagaimana mujtahid pertama telah memberi (menetapkan) hukum itu sebelumnya.
Ia pun dapat pula mengubah hukum itu dengan pendapatnya yang berbeda dengan
tinjauan yang lain, setelah diselidiki dan diteliti kembali pada pokok-pokok
pertimbangannya. Hasil ijtihad seperti ini tidak wajib dijalankan oleh seluruh
muslim. Hanya wajib bagi mujtahid itu sendiri dan bagi orang-orang yang meminta
fatwa kepadanya, selama pendapat itu belum diubahnya.
No comments:
Post a Comment