BAB 14 SISTEM
KEBUDAYAAN ISLAM
A. Konsep Kebudayaan dalam
Islam
Dari segi etimologis, kata kebudayaan adalah kata dalam
bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Sansekerta buddhi yang berarti
intelek (pengertian). Kata buddhi berubah menjadi budaya yang berarti “yang
diketahui atau akal pikiran”. Budaya berarti pula pikiran, akal budi,
kebudayaan, yang mengenai kebudayaan yang sudah berkembang, beradab, maju
(Poerwadarminta,1982:157).
Dari pengertian budaya di atas, dapat diutarakan dengan
bahasa lain bahwa kebudayaan merupakan gambaran dari taraf berpikir manusia.
Tinggi-rendahnya taraf berpikir manusia akan terlihat pada hasil budayanya.
Kebudayaan merupakan cetusan isi hati suatu bangsa, golongan, atau individu.
Tinggi-rendahnya, kasar-halusnya pribadi manusia, golongan, atau ras, akan
terlihat pada kebudayaan yang dimiliki sebagai hasil ciptaannya. Maka dapat
juga dikatakan bahwa kebudayaan merupakan orientasi dan pola pikir manusia,
golongan, atau bangsa. Kebudayaan merupakan suatu konsep yang sangat luas ruang
lingkupnya. Hal ini tidak terlepas dari latar belakang timbulnya suatu
kebudayaan itu sendiri. Dawson (1993:57) memberikan empat faktor yang menjadi
alasan pokok yang menentukan corak suatu kebudayaan, yaitu faktor geografis,
keturunan atau bangsa, kejiwaan, dan ekonomi.
Dalam Islam , memang tidak ada suatu rumusan yang
kongkret mengenai suatu kebudayaan. Berkaitan dengan masalah kebudayaan. Islam
memberi kerangka asas atau prinsip yang bersifat hakiki atau esensial. Dengan
kata lain, Islam hanya memberikan konsep dasar yang dalam perwujudannya
tergantung pada pemahaman pendukungnya.Dalam keadaan atau waktu yang
berbeda, esensinya diwujudkan oleh aksidensi yang sangat ditentukan oleh aspek
ekonomi, politik, sosial budaya, teknik, seni, dan mungkin juga oleh filsafat.
Ciri-ciri yang membedakan antara kebudayaan Islam dengan
budaya lain, diungkapkan oleh Siba’i bahwa ciri-ciri kebudayaan Islam adalah
yang ditegakkan atas dasar aqidah dan tauhid, berdimensi kemanusiaan murni,
diletakkan pada pilar-pilar akhlak mulia, dijiwai oleh semangat ilmu (Zainal,
1993:60).
Dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
kebudyaan Islam dapat dipahami sebagai hasil olah akal, budi, cipta, karya,
karsa, dan rasa manusia yang bernafaskan wahyu ilahi dan sunnah Rasul. Yakni
suatu kebudayaan akhlak karimah yang muncul sebagai implementasi Al-Qur’an dan
Al-Hadist dimana keduanya merupakan sumber ajaran agama Islam, sumber norma dan
sumber hukum Islam yang pertama dan utama. Dengan demikian kebudayaan Islam dapat
dipilah menjadi tiga unsur prinsipil, yaitu kebudayaan Islam sebagai hasil
cipta karya orang Islam, kebudayaan tersebut didasarkan pada ajaran Islam, dan
merupakan pencerminan dari ajaran Islam.
Ketiga unsur tersebut merupakan kesatuan yang utuh dan
tidak dapat terpisah satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, sebagus apapun
kebudayaannya, jika itu bukan merupakan produk kaum Mslimin tidak bisa
dikatakan dan diklaim sebagai budaya Islam. Demikian pula sebaliknya, meskipun
budaya tersebut merupakan produk orang-orang Islam, tetapi substansinya sama
sekali tidak mencerminkan norma-norma ajaran Islam. Dengan kata lain, Al-Faruqi
(2001) menegaskan bahwa sesungguhnya kebudayaan Islam adalah “Kebudayaan
Al-Qur’an“, karena semuanya berasal dari rangkaian wahyu Allah SWT kepada nabi
Muhammad SAW pada abad ketujuh. Tanpa wahyu kebudayaan Islami Islam, filsafat
Islam, hukum Islam, masyarakat Islam maupun organisasi politik atau ekonomi
Islam.
B. Prinsip-Prinsip
Kebudayaan dalam Islam
Islam, datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat
menuju kepada kehidupan yang baik dan seimbang. Dengan demikian Islam tidaklah
datang untuk menghancurkan budaya yang telah dianut suatu masyarakat, akan
tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam menginginkan agar umat manusia ini jauh
dan terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat dan membawa madlarat di
dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu meluruskan dan membimbing kebudayaan
yang berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang beradab dan berkemajuan
serta mempertinggi derajat kemanusiaan.
Prinsip semacam ini, sebenarnya telah menjiwai isi
Undang-undang Dasar Negara Indonesia, pasal 32, walaupun secara praktik dan
perinciannya terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat menyolok. Dalam
penjelasan UUD pasal 32, disebutkan : “ Usaha kebudayaan harus menuju ke arah
kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari
kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa
sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Idonesia “.
Dari situ, Islam telah membagi budaya menjadi tiga macam :
Ø Pertama : Kebudayaan yang tidak
bertentangan dengan Islam. seperti ; kadar besar kecilnya mahar dalam
pernikahan, di dalam masyarakat Aceh, umpamanya, keluarga wanita biasanya,
menentukan jumlah mas kawin sekitar 50-100 gram emas.
Ø Kedua : Kebudayaan yang
sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam, Contoh yang paling jelas, adalah
tradisi Jahiliyah yang melakukan ibadah haji dengan cara-cara yang bertentangan
dengan ajaran Islam , seperti lafadh “ talbiyah “ yang sarat dengan kesyirikan,
thowaf di Ka’bah dengan telanjang.
Ø Ketiga : Kebudayaan yang
bertentangan dengan Islam. Seperti, budaya “ ngaben “ yang dilakukan oleh
masyarakat Bali.
C. Sejarah Intelektual dalam
Islam
Ada banyak faktor penyebab proses pertumbuhan peradaban
Islam. Namun secara garis besar dapat dibagi menjadi dua faktor penyebab tumbuh
berkembangnya peradaban Islam, hingga mencapai lingkup mondial, yaitu faktor
internal dan faktor eksternal.
Faktor pertama (internal) berasal dari dalam norma-norma atau ajaran Islam sendiri.
Faktor kedua(eksternal) pada hakikanya merupakan implikasi dari faktor pertama. Motivasi internal yang begitu kuat telah mengkristal dalam kehidupan umat Islam sejalan dengan perkembangan sejarah, dan nilai-nilai atau norma-norma ajaran Islam menjiwai dalam setiap kehidupannya.
Faktor pertama (internal) berasal dari dalam norma-norma atau ajaran Islam sendiri.
Faktor kedua(eksternal) pada hakikanya merupakan implikasi dari faktor pertama. Motivasi internal yang begitu kuat telah mengkristal dalam kehidupan umat Islam sejalan dengan perkembangan sejarah, dan nilai-nilai atau norma-norma ajaran Islam menjiwai dalam setiap kehidupannya.
Tonggak-tonggak sejarah peradaban Islam, tak pernah
lepas dari sejarah intelektual Islam. Untuk memahami dengan baik perkembangan
tersebut, idealnya diperlukan pemahaman yang memadai tentang periodisasi
sejarah perkembangan Islam. Dengan menggunakan teori yang dikembangkan oleh
Harun Nasution, dilihat dari segi perkembangannya, sejarah intelektual Islam
dapat dikelompokkan ke dalam tiga masa, yaitu: masa klasik antara 650-1250 M,
masa pertengahan antara tahun 1250-1800 M, dan masa modern antara tahun 1800
sampai sekarang.
Pada masa klasik, lahir ulama’ mahzab, seperti: Imam
Hanafi, Imam Hambali, Imam Syafi’i , dan Imam Maliki. Sejalan dengan itu lahir
pula filosof muslim pertama,Al-Kindi 801 M. Diantara pemikirannya, ia
berpendapat bahwa kaum Muslimin menerima filsafat sebagai bagian dari
kebudayaan Islam. Selain, Al-Kindi, pada abad itu lahir pula filosof besar
seperti: Al-Razi (865 M) dan Al-Farabi (870 M). keduanya dikenal sebagai
pembangun agung sistem filsafat. Pada abad berikutnya, lahir filosof agung Ibn
Miskawaih 930 M. Pemikirannya yang terkenal tentang pendidikan akhlak. Kemudian
Ibn Sina tahun 1037 M, Ibn Bajjah tahun 1138 M, Ibn Tufail tahun 1147 M,dan Ibn
Rusyd tahun 1126 M.
Masa pertengahan dalam catatan sejarah pemikiran Islam
masa kini, merupakan fase kemunduran karena filsafat mulai dijauhkan dari umat
Islam sehingga ada kecenderungan akal dipertentangkan dengan wahyu, iman dengan
ilmu, dunia dengan akhirat. Pengaruhnya masih ada sampai sekarang. Sebagai
pemikir muslim kontemporer sering melontarkan tuduhan pada Al-Ghazali sebagai
orang pertama yang menjauhkan filsafat dari agama. Sebagaimana tertuang dalam
tulisannya “Tahafut al-Falasifah” (Kerancuan Filsafat). Tulisan Al-Ghazali
dijawab oleh Ibn Rusyd dengan tulisan Tahafut al-Tahafut (Kerancuan di atas
kerancuan).
D. Budaya yang Boleh dan Tidak
Boleh dalam Islam
Ajaran Islam yang berkembang di Indonesia mempunyai
tipikal yang spesifik bila dibandingkan dengan ajaran Islam di berbagai negara
Muslim lainnya. Menurut banyak studi, Islam di Indonesia adalah Islam yang
akomodaatif dan cenderung elastis dalam berkompromi dengan situasi dan kondisi
yang berkembang di Indonesia, terutama situasi sosial politik yang sedang
terjadi pada masa tertentu. Muslim Indonesia pun konon memiliki karakter yang
khas, terutama dalam pergumulannya dengan kebudayaan lokal Indonesia. Disinilah
terjadi dialog dan dialektika antara Islam dan budaya lokal yang kemudian
menampilkan wajah Islam yang khas Indonesia, sehingga dikenal sebagai “Islam
Nusantara” atau “Islam Indonesia” dimaknai sebagai Islam yang berbau kebudayaan
Indonesia. Islam yang bernalar Nusantara, Islam yang menghargai pluralitas,
Islam yang ramah kebudayaan lokal, dan sejenisnya. “Islam Nusantara” atau
“Islam Indonesia” bukan foto copy Islam Arab, bukan kloning Islam Timur Tengah,
bukan plagiasi Islam Barat, dan bukan pula duplikasi Islam Eropa.
Meskipun Islam lahir di negeri Arab, tetapi dalam
kenyataannya Islam dapat tumbuh dan berkembang dengan kekhasannya dan pada
waktu yang sama sangat berpengaruh di bumi Indonesia yang sebelumnya diwarnai
animisme dan dinamisme, serta agama besar seperti Hindu dan Budha. Dengan
demikian, wajah Islam yang tampil di Indonesia adalah wajah Islam yang khas
Indonesia, wajah Islam yang berkarakter Indonesia, dan Islam yang menyatu
dengan kebudayaan masyarakat Indonesia, tetapi sumbernya tetap al-Qur’an dan
al-Sunnah.
Oleh karena itulah, wajah Islam di Indonesia merupakan
hasil dialog dan dialektika antara Islam dan budaya lokal yang kemudian
menampilkan wajah Islam yang khas Indonesia. Dalam kenyataannya, Islam di
Indonesia memanglah tidak bersifat tunggal, tidak monolit, dan tidak simple,
walaupun sumber utamanya tetap pada al-Qur’an dan al-Sunnah. Islam Indonesia
bergelut dengan kenyataan negara-negara, modernitas, globalisasi, kebudayaan
likal, dan semua wacana kontemporer yang menghampiri perkembangan zaman dewasa
ini.
Tulisan ini ditulis dalam konteks sebagaimana tersebut
diatas dalam memandang event peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. Dalam
realitanya memang terdapat berbagai tradisi umat Islam dibanyak Negara Muslim
seperti Indonesia, Malasyia, Brunai, Mesir, Yaman, Aljazair, Maroko, dan lain
sebagainya yang menimbulkan “kontroversi” dari perspektif hukum tentang boleh
atau tidaknya atau halal atau haramnya untuk mengamalkannya. Di Antara tradisi
yang menimbulkan kontroversi itu Antara lain melaksanakan kegiatan-kegiatan
seperti peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw, peringatan Isra’ Mi’raj,
peringatan Muharram, dan lain-lain.
Oleh karena kontroversi-kontroversi yang menyelimuti
peringatan-peringatan tersebut, maka tulisan ini berupaya menjelaskan posisi
peringatan Maulid Nabi Saw, perspektif hukum Islam, akan tetapi tidak bersifat tunggal,
namun memberikan horizon pilihan yang memungkinkan kita untuk bersikap arif dan
bijaksana terhadap pihak yang berbeda pahamnya.
Dari riwayat Rasulullah Saw, Islam membiarkan beberapa
adat kebiasaan manusia yang tidak bertentangan dengan syariat dan adab-adab
Islam atau sejalan dengannya. Oleh karena itu, Rasulullah Saw tidak menghapus
seluruh adat dan budaya masyarakat Arab (pada masa itu) yang ada sebelum
datangnya Islam. Akan tetapi Rasulullah Saw melarang budaya-budaya yang
mengandung unsur syirik, seperti pemujaan terhadap leluhur dan nenek moyang,
dan budaya-budaya yang bertentangan dengan adab-adab Islami.
Jadi, selama adat dan budaya itu tidak bertentangan
dengan Islam, silahkan melakukannya. Namun jika bertengan dengan ajaran Islam,
seperti memamerkan aurat pada sebagian pakaian adat daerah, atau budaya itu
berbau syirik atau memiliki asal-usul ritual syirik dan pemujaan atau
penyembahan kepada dewa-dewa atau Tuhan-Tuhan selain Allah, maka budaya seperti
itu hukumnya haram.
E. Masjid sebagai Pusat
Peradaban dalam Islam
Dalam sejarah perkembangan Islam, Masjid memiliki fungsi
yang sangat vital dan dominan bagi kaum Muslimin, di antaranya:
1. Mesjid pada
umumnya dipahami masyarakat sebagai tempat ibadah khusus, seperti sholat.
2. Sebagai “prasasti”
atas berdirinya masyarakat Muslim. Jika dewasa ini bendera sebagai simbol
sebuah Negara yang telah merdeka, maka kaum Muslimin pada tempo dulu jika
berhasil “menaklukkan” sebuah Negara, mereka menandainya dengan membangun
sebuah masjid sebagai pertanda bahwa wilayah tersebut menjadi bagian dari
“Negara Islam” (Shini,T.T:158)
3. Masjid merupakan
sumber komunikasi dan informasi antar warga masyarakat Islam.
4. Di zaman Nabi SAW
masjid sebagai pusat peradaban
5. Sebagai simbol
persatuan umat Islam.
6. Sebagai pusat
gerakan.
7. Di Masjid kaum
tua-muda Muslim mengabdikan hidup untuk belajar ilmu-ilmu Islam, mempelajari
Al-Qur’an dan Al-Hadist , kritisme, tafsir, cabang-cabang syariat, sejarah,
astronomi, geografi, tata bahasa, dan sastra arab.
F. Nilai-Nilai Islam
dalam Budaya Indonesia
Islam masuk ke Indonesia lengkap dengan budayanya.
Karena Islam berasal dari jazirah Arab, maka Islam masuk ke Indonesia tidak
terlepas dari budaya Arabnya.
Kedatangan Islam dengan segala komponen budayanya di Indonesia secara damai telah menarik simpati sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari situasi politik yang tengah terjadi saat itu.
Kedatangan Islam dengan segala komponen budayanya di Indonesia secara damai telah menarik simpati sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari situasi politik yang tengah terjadi saat itu.
Dalam pandangan Nurcholis Majid (1988:70) bahwa daya
tarik Islam yang pertama dan utama adalah besifat psikologis, Islam yang secara
radikal bersifat egaliter dan mempunyai semangat keilmuan merupakan konsep
revolusioner yang sangat memikat dalam membebaskan orang-orang lemah
(mustadh’afin) dari belenggu hidupnya.
Dalam perkembangan dakwah Islam di Indonesia, para da’i
mendakwahkan ajaran Islam melalui bahasa budaya, sebagaimana dilakukan oleh
Wali Songo di tanah Jawa. Karena kehebatan para wali Allah SWT itu dalam
mengemas ajaran Islam dengan bahasa budaya setempat sehingga masyarakat tidak
sadar bahwa nilai-nilai Islam telah masuk dan menjadi tradisi dalam kehidupan
sehari-hari mereka.
No comments:
Post a Comment