BAB 1 KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM
FILSAFAT KETUHANAN
Secara harfiah, kata filsafat
berasal dari kata Philo yang berarti cinta, dan kata Sophos yang berarti ilmu
atau hikmah. Dengan demikian, filsafat berarti cinta terhadap ilmu atau hikmah.
Terhadap pengertian seperti ini al-Syaibani mengatakan bahwa filsafat bukanlah
hikmah itu sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha
mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sikap positif
terhadapnya. Selanjutnya ia menambahkan bahwa filsafat dapat pula berarti
mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berusaha
menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. (Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat
Islam, Cet. IV, Bulan Bintang, Jakarta, 1990, Hlm. 45)
Sementara itu, A. Hanafi, M.A.
mengatakan bahwa pengertian filsafat telah mengalami perubahan-perubahan
sepanjang masanya. Pitagoras (481-411 SM), yang dikenal sebagai orang yang
pertama yang menggunakan perkataan tersebut. Dari beberapa kutipan di atas
dapat diketahui bahwa pengertian filsafat dari segi kebahasan atau semantik
adalah cinta terhadap pengetahuan atau kebijaksanaan. Dengan demikian filsafat
adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang menempatkan pengetahuan atau
kebikasanaan sebagai sasaran utamanya.
Keimanan dalam Islam merupakan
aspek ajaran yang fundamental, kajian ini harus dilaksanakan secara intensif.
Keimanan kepada Allah SWT, kecintaan, pengharapan, ikhlas, kekhawatiran, tidak
dalam ridho-Nya, tawakkal nilai yang harus ditumbuhkan secara subur dalam
pribadi muslim yang tidak terpisah dengan aspek pokok ajaran yang lain dalam
Islam.
Muslim yang baik memiliki
kecerdasan intelektual sekaligus kecerdasan spiritual (QS. Ali Imran: 190-191)
sehingga sikap keberagamaannya tidak hanya pada ranah emosi tetapi didukung
kecerdasan pikir atau ulul albab. Terpadunya dua hal tersebut insya Allah
menuju dan berada pada agama yang fitrah. (QS.Ar-Rum: 30).
Jadi, filsafat Ketuhanan dalam
Islam bisa diartikan juga yaitu kebijaksanaan Islam untuk menentukan Tuhan,
dimana Ia sebagai dasar kepercayaan umat Muslim.
A. Siapakah Tuhan
itu?
Perkataan ilah, yang
diterjemahkan “Tuhan”, dalam Al-Quran dipakai untuk menyatakan berbagai obyek
yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya dalam QS : 45
(Al-Jatsiiyah) : 23, yaitu:
أَفَرَأَيْتَ مَنِ
اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ
وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ
بَعْدِ اللَّهِ أَفَلا تَذَكَّرُونَ (٢٣)
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang
menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan
ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan
tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk
sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil
pelajaran?
Dalam QS : 28 (Al-Qashash) : 38, perkataan
ilah dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya sendiri:
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا أَيُّهَا
الْمَلأ مَا عَلِمْتُ لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرِي فَأَوْقِدْ لِي
يَا هَامَانُ عَلَى الطِّينِ فَاجْعَلْ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَطَّلِعُ إِلَى
إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لأظُنُّهُ مِنَ الْكَاذِبِينَ (٣٨)
dan berkata Fir'aun: "Hai pembesar
kaumku, aku tidak mengetahui Tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah Hai Haman
untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan yang Tinggi supaya aku
dapat naik melihat Tuhan Musa, dan Sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa Dia
Termasuk orang-orang pendusta".
Contoh ayat-ayat tersebut di
atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa mengandung arti berbagai benda, baik
abstrak (nafsu atau keinginan pribadi) maupun benda nyata (Fir’aun atau
penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilah dalam Al-Quran juga dipakai
dalam bentuk tunggal (mufrad: ilaahun), ganda (mutsanna: ilaahaini), dan banyak
(jama’: aalihatun). Derifasi makna dari kata ilah tersebut mengandung makna
bahwa ‘bertuhan nol’ atau atheisme adalah tidak mungkin. Untuk dapat mengerti
dengan definisi Tuhan atau Ilah yang tepat, berdasarkan logika Al-Quran sebagai
berikut:
Tuhan (Ilah) ialah sesuatu yang
dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia sedemikian rupa, sehingga manusia
merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya. Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan
secara luas. Tercakup di dalamnya yang dipuja, dicintai, diagungkan,
diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk
pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian.
Ibnu Taimiyah memberikan
definisi al-Ilah sebagai berikut:
Al-Ilah ialah: yang dipuja dengan penuh
kecintaan hati, tunduk kepadanya, merendahkan diri di hadapannya, takut, dan
mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan,
berdoa, dan bertawakal kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan
dari padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta
kepadanya (M. Imaduddin, 1989 : 56)
Atas dasar definisi ini, tuhan
bisa berbentuk apa saja, yang dipentingkan manusia. Yang pasti, manusia tidak
mungkin atheis, tidak mungkin tidak ber-tuhan. Berdasarkan logika Al-Quran,
setiap manusia pasti ada sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan begitu,
orang-orang komunis pada hakikatnya ber-tuhan juga. Adapun tuhan mereka ialah
ideologi atau angan-angan (utopia) mereka.
Dalam ajaran Islam diajarkan
kalimat “laa ilaaha illa Allah”. Susunan kalimat tersebut dimulai dengan
peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti dengan penegasan
“melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus membersihkan diri
dari segala macam Tuhan terlebih dahulu, sehingga yang ada dalam hatinya hanya
ada satu Tuhan, yaitu Allah SWT.
Untuk lebih jelas memahami
tentang siapakah Allah, DR. M. Yusuf Musa menjelaskan dalam makalahnya yang
berjudul “Al Ilahiyyat Baina Ibnu Sina wa Ibnu Rusyd” yang
telah di edit oleh DR. Ahmad Daudy, MA dalam buku Segi-segi Pemikiran
Falsafi dalam Islam. Beliau mengatakan : Dalam ajaran Islam,
Allah SWT adalah pencipta segala sesuatu ; tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa
kehendak-Nya, serta tidak ada sesuatu yang kekal tanpa pemeliharaan-Nya. Allah
SWT mengetahui segala sesuatu yang paling kecil dan paling halus sekali pun. Ia
yang menciptakan alam ini, dari tidak ada kepada ada, tanpa perantara dari
siapa pun. Ia memiliki berbagai sifat yang maha indah dan agung.
B.
Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan
1. Pemikiran Barat
Yang dimaksud konsep Ketuhanan
menurut pemikiran manusia adalah konsep yang didasarkan atas hasil pemikiran
baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik yang bersifat penelitian
rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah agama, dikenal teori
evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang
amat sederhana, lama kelamaan meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut
mula-mula dikemukakan oleh Max Muller, kemudian dikemukakan oleh EB Taylor,
Robertson Smith, Lubbock dan Javens. Proses perkembangan pemikiran tentang
Tuhan menurut teori evolusionisme adalah sebagai berikut:
a. Dinamisme
Menurut paham ini, manusia
sejak zaman primitif telah mengakui adanya kekuatan yang berpengaruh dalam
kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut ditujukan pada benda.
Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang berpengaruh positif dan
ada pula yang berpengaruh negatif. Kekuatan yang ada pada benda disebut dengan
nama yang berbeda-beda, seperti mana (Melanesia), tuah (Melayu), dan syakti
(India).
b. Animisme
Oleh masyarakat primitif, roh
dipercayai sebagai sesuatu yang aktif sekalipun bendanya telah mati. Oleh
karena itu, roh dianggap sebagai sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa
senang apabila kebutuhannya dipenuhi. Menurut kepercayaan ini, agar manusia
tidak terkena efek negatif dari roh-roh tersebut, manusia harus menyediakan
kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai dengan saran dukun adalah salah satu
usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.
c. Politeisme
Kepercayaan dinamisme dan
animisme lama-lama tidak memberikan kepuasan, karena terlalu banyak yang
menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari yang lain kemudian disebut
dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai dengan bidangnya. Ada
dewa yang bertanggung jawab terhadap cahaya, ada yang membidangi masalah air,
ada yang membidangi angin dan lain sebagainya.
d. Henoteisme
Politeisme tidak memberikan
kepuasan, terutama terhadap kaum cendekiawan. Oleh karena itu dari dewa-dewa
yang diakui diadakan seleksi, karena tidak mungkin mempunyai kekuatan yang
sama. Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih definitif
(tertentu). Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut dengan Tuhan,
namun manusia masih mengakui tuhan (ilah) bangsa lain. Kepercayaan satu tuhan
untuk satu bangsa disebut dengan Henoteisme (Tuhan Tingkat Nasional).
e. Monoteisme
Kepercayaan dalam bentuk
Henoteisme melangkah menjadi Monoteisme. Dalam Monoteisme hanya mengakui satu
Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat internasional. Bentuk Monoteisme
ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga paham, yaitu: deisme,
panteisme, dan teisme.
Evolusionisme dalam kepercayaan
terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh Max Muller dan EB. Taylor (1877),
ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang menekankan adanya monoteisme dalam
masyarakat primitif. Dia mengemukakan bahwa orang-orang yang berbudaya rendah
juga sama monoteismenya dengan orang-orang Kristen. Mereka mempunyai
kepercayaan pada wujud yang agung dan sifat-sifat yang khas terhadap tuhan
mereka, yang tidak mereka berikan kepada wujud yang lain.
Dengan lahirnya pendapat Andrew
Lang, maka berangsur-angsur golongan evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya
sarjana-sarjana agama terutama di Eropa Barat mulai menantang evolusionisme dan
memperkenalkan teori baru untuk memahami sejarah agama. Mereka menyatakan bahwa
ide tentang Tuhan tidak datang secara evolusi, tetapi dengan relevansi atau
wahyu. Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam
kepercayaan yang dimiliki oleh kebanyakan masyarakat primitif. Dalam
penyelidikan didapatkan bukti-bukti bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat
primitif adalah monoteisme dan monoteisme adalah berasal dari ajaran wahyu
Tuhan (Zaglul Yusuf, 1993 : 26-27).
2. Pemikiran Umat Islam
Pemikiran terhadap Tuhan yang
melahirkan Ilmu Tauhid, Ilmu Kalam, atau Ilmu Ushuluddin di kalangan umat
Islam, timbul beberapa periode setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Yakni pada
saat terjadinya peristiwa tahkim antara kelompok Ali bin Abi Thalib dengan
kelompok Mu’awiyyah. Secara garis besar, ada aliran yang bersifat liberal,
tradisional, dan ada pula yang bersifat di antara keduanya. Sebab timbulnya
aliran tersebut adalah karena adanya perbedaan metodologi dalam memahami
Al-Quran dan Hadis dengan pendekatan kontekstual sehingga lahir aliran yang
bersifat tradisional. Sedang sebagian umat Islam yang lain memahami dengan
pendekatan antara kontektual dengan tektual sehingga lahir aliran yang bersifat
antara liberal dengan tradisional. Aliran-aliran tersebut yaitu :
a. Mu’tazilah
Merupakan kaum rasionalis di
kalangan muslim, serta menekankan pemakaian akal pikiran dalam memahami semua
ajaran dan keimanan dalam Islam. Dalam menganalisis ketuhanan, mereka memakai
bantuan ilmu logika Yunani, satu sistem teologi untuk mempertahankan kedudukan
keimanan. Mu’tazilah lahir sebagai pecahan dari kelompok Qadariah, sedang
Qadariah adalah pecahan dari Khawarij.
b. Qodariah
Berpendapat bahwa manusia
mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat. Manusia sendiri yang
menghendaki apakah ia akan kafir atau mukmin dan hal itu yang menyebabkan
manusia harus bertanggung jawab atas perbuatannya.
c. Jabariah
Berteori bahwa manusia tidak
mempunyai kemerdekaan dalam berkehendak dan berbuat. Semua tingkah laku manusia
ditentukan dan dipaksa oleh Tuhan. Aliran ini merupakan pecahan dari Murji’ah
d. Asy’ariyah
dan Maturidiyah
Hampir semua pendapat dari
kedua aliran ini berada di antara aliran Qadariah dan Jabariah. Semua aliran
itu mewarnai kehidupan pemikiran ketuhanan dalam kalangan umat Islam periode
masa lalu. Pada prinsipnya aliran-aliran tersebut di atas tidak bertentangan
dengan ajaran dasar Islam. Oleh karena itu umat Islam yang memilih aliran mana
saja diantara aliran-aliran tersebut sebagai teologi mana yang dianutnya, tidak
menyebabkan ia keluar dari Islam. Menghadapi situasi dan perkembangan ilmu
pengetahuan sekarang ini, umat Islam perlu mengadakan koreksi ilmu berlandaskan
al-Quran dan Sunnah Rasul, tanpa dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu.
2. PEMBUKTIAN WUJUD
TUHAN
Adanya alam organisasinya yang
menakjubkan dan rahasianya yang pelik, tidak boleh memberikan penjelasan bahwa
ada sesuatu kekuatan yang telah menciptakannya, suatu akal yang tidak ada batasnya.
Setiap manusia normal percaya bahwa dirinya “ada” dan percaya pula bahwa alam
ini “ada”. Dengan dasar itu dan dengan kepercayaan inilah dijalani setiap
bentuk kegiatan ilmiah dan kehidupan.
Jika percaya tentang eksistensi alam, maka secara logika harus percaya tentang
adanya Pencipta Alam. Pernyataan yang mengatakan: percaya adanya makhluk,
tetapi menolak adanya Khaliq adalah suatu pernyataan yang tidak benar. Belum
pernah diketahui adanya sesuatu yang berasal dari tidak ada tanpa diciptakan.
Segala sesuatu bagaimanapun ukurannya, pasti ada penyebabnya. Oleh karena itu
bagaimana akan percaya bahwa alam semesta yang demikian luasnya, ada dengan
sendirinya tanpa pencipta ?
Dalam al-Quran, penggambaran
tentang pengakuan akan eksistensi Tuhan dapat ditemukan dalam Q.S al-Ankabut,
29: 61-63. Dalam ayat 61-63 dijelaskan bahwa: “bangsa arab yang penyembah
berhala tidak menolak eksistensi pencipta langit dan bumi.
Berdasarkan kandungan ayat ini, dapat dipahami bahwa bangsa arab sesungguhnya
telah memahami dan meyakini akan eksistensi Tuhan sebagai pencipta langit dan
bumi serta pengaturnya. Namun menurut al-Quran, ada segelintir anak manusia
yang menolak eksistensi tuhan, seperti penggambaran al-Quran dalam Q.S.
al-Jasyiah (45): 24. Ayat ini menegaskan bahwa: “mereka berkata: “
kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan didunia saja, kita mati dan kita
hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.” Penolakan akan
eksistensi tuhan oleh sebagian kecil manusia itu, hanya didasarkan pada dugaan
semata dan tidak didasarkan pada pengetahuan yang meyakinkan seperti ditegaskan
dalam klausa penutup ayat 24 tersebut, yaitu:”mereka sekali kali tidak
mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga
saja.
Banyak sekali ayat yang terkandung dalam Al-Quran yang menjelaskan tentang
keberadaan Allah sebagai tuhan semesta alam seperti yang terkandung dalam surah
Ali-Imran ayat 62 yang artinya “sesungguhnya ini adalah kisah yang
benar. Tidak ada Tuhan selain Allah, dan sungguh Allah
Maha Perkasa , Maha Bijaksana.
Keesaan
Allah SWT adalah mutlak. Ia tidak dapat didampingi atau disejajarkan dengan
yang lain. Sebagai umat Islam, yang mengikrarkan kalimat syahadat Laa ilaaha
illa Allah harus menempatkan Allah SWT sebagai prioritas utama dalam setiap
tindakan dan ucapannya.
Banyak sekali bukti-bukti yang
dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa Tuhan adalah Wujud (ada). Bukti klasik
yang sering digunakan adalah tentang adanya alam semesta. Setiap sesuatu
yang ada tentu diciptakan dan pencipta adalah Allah SWT Tuhan pencipta
alam semesta. Pembuktian dengan pendekatan seperti diatas sebenarnya bukanlah
hal baru lagi. Jauh sebelum umat Islam menggunakan pembuktian semacam itu,
Plato telah mengemukakan teori dalam bukunya Timaeus yang
mengatakan bahwa tiap-tiap benda yang terjadi mesti ada yang menjadikan.
No comments:
Post a Comment