Perlindungan Konsumen Dan Antimonopoli


Pengertian Konsumen
Pengertian konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Menurut pengertian Pasal 1 angka 2 UU PK, “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
Sedangkan dalam bagian penjelasan disebutkan “Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir”.
Dari ketentuan dalam undang-undang tersebut secara tersurat nampaknya hanya menitik beratkan pada pengertian konsumen sebagai konsumen akhir yang mana hal tersebut bukan merupakan objek pembahasan dalam tulisan ini. Namun secara tersirat juga mengandung pengertian konsumen dalam arti luas. Hal tersebut nampak pada penggunakan kata “pemakai”. Istilah “pemakai” dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan konsumen untuk mendukung pengertian konsumen akhir, namun sekaligus juga menunjukkan bahwa barang dan/jasaa yang dipakai tidak serta merta hasil dari suatu transaksi jual beli. Artinya sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/jasa tersebut. Dengan kata lain dasar hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha tidak perlu harus kontraktual (the privity of contract).
Perlindungan konsumen
Menurut UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Republik Indonesia. Perlindungan Konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan atau jasa; hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan sebagainya.
Asas-Asas Perlindungan Konsumen dan Tujuan perlindungan konsumen
1.Asas manfaat
Dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar- besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
  1. Asas keadilan
Dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
  1. Asas keseimbangan
Dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.
  1. Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
  1. Asas kepastian hukum
Dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
 Tujuan Perlindungan Konsumen
Menurut pasal 3 tentang Perlindungan Konsumen, bertujuan:
  1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
  2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan atau jasa.
  3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
  4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
  5.  Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
  6. Meningkatkan kualitas barang dan atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Republik Indonesia menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa; hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan sebagainya.
Hak Dan Kewajiban Perilaku Usaha
Seperti halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
  1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan atau jasa yang diperdagangkan.
  2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
  3.  Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
  4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan atau jasa yang diperdagangkan.
  5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Bila diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula dengan kewajiban konsumen merupkan hak yang akan diterima pelaku usaha. Bila dibandingkan dengan ketentuan umum di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan UUPK lebih spesifik.
Karena di UUPK pelaku usaha selain harus melakukan kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha. Kewajiban-kewajiban pelaku usaha juga sangat erat kaitannya dengan larangan dan tanggung jawab pelaku usaha.
 Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Adapun perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yaitu:
  1. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang dan atau jasa yang:
a. Tidak sesuai dengan:
  • Standar yang dipersyaratkan;
  • Peraturan yang berlaku;
  • Ukuran, takaran, timbangan dan jumlah yang sebenarnya.
b.Tidak sesuai dengan pernyataan dalam label, etiket dan keterangan lain mengenai barang dan atau jasa yang menyangkut:
  • Berat bersih;
  • Isi bersih dan jumlah dalam hitungan;
  • Kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran;
  • Mutu, tingkatan, komposisi;
  • Proses pengolahan;
  • Gaya, mode atau penggunaan tertentu;
  • Janji yang diberikan.
c.Tidak mencantumkan:
  • Tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan atau pemanfaatan paling baik atas barang tertentu;
  • Informasi dan petunjuk penggunaan dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
D.Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label.
E.tidak memasang label atau membuat penjelasan yang memuat:
  • Nama barang;
  • Ukuran, berat atau isi bersih, komposisi;
  • Tanggal pembuatan;
  • Aturan pakai;
  • Akibat sampingan;
  • Nama dan alamat pelaku usaha;
  • Keterangan penggunaan lain yang menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat.
F.Rusak, cacat atau bekas dan tercemar (terutama sediaan Farmasi dan Pangan), tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
  1. Dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan barang dan atau jasa:
  • Telah memenuhi standar mutu tertentu, potongan harga atau harga khusus, gaya atau mode tertentu, sejarah atau guna tertentu.
  • Dalam keadaan baik atau baru, tidak mengandung cacat, berasal dari daerah tertentu, merupakan kelengkapan dari barang tertentu.
3.      Secara tidak benar dan seolah-olah barang dan atau jasa tersebut:
  • Telah mendapatkan atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesoris tertentu.
  • Dibuat perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi.
  • Telah tersedia bagi konsumen.
  1. Langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan atau jasa lain.
  2. Menggunakan kata-kata berlebihan, secara aman, tidak berbahaya, tidak mengandung resiko atau efek samping tanpa keterangan lengkap.
  3. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
  4. Dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika bermaksud tidak melaksanakan.
  5. Dengan menjanjikan hadiah cuma-cuma, dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tetapi tidak sesuai dengan janji.
  6. Dengan menjanjikan hadiah barang dan atau jasa lain, untuk obat-obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan dan jasa pelayanan kesehatan.
  7. Dalam menawarkan barang dan atau jasa untuk diperdagangkan dilarang mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan tidak benar atau menyesatkan mengenai:
  8. Harga atau tarif dan potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan.
  9. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas barang dan atau jasa.
  10. Kegunaan dan bahaya penggunaan barang dan atau jasa.
  11. Dalam menawarkan barang dan atau jasa untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah dengan cara undian dilarang:
  12. Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu dijanjikan.
  13. Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa.
  14. Memberikan hadiah tidak sesuai janji dan atau menggantikannya dengan hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
  15. Dalam menawarkan barang dan atau jasa, dilarang melakukan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan kepada konsumen baik secara fisik maupun psikis.
  16. Dalam hal penjualan melalui obral atau lelang, dilarang menyesatkan dan mengelabui konsumen dengan:
  17. Menyatakan barang dan atau jasa tersebut seolah-olah memenuhi standar mutu tertentu dan tidak mengandung cacat tersembunyi.
  18. Tidak berniat menjual barang yang ditawarkan, melainkan untuk menjual barang lain.
  19. Tidak menyediakan barang dan atau jasa dalam jumlah tertentu atau cukup dengan maksud menjual barang lain.
  20. Menaikan harga sebelum melakukan obral.
Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Hukum tentang tanggung jawab produk ini termasuk dalam perbuatan melanggar hukum tetapi diimbuhi dengan tanggung jawab mutlak (strict liability), tanpa melihat apakah ada unsur kesalahan pada pihak pelaku. Dalam kondisi demikian terlihat bahwa adagium caveat emptor (konsumen bertanggung jawab telah ditinggalkan) dan kini berlaku caveat venditor (pelaku usaha bertanggung jawab).
.
Kesulitan tersebut adalah pihak konsumen harus membuktikan ada unsur kesalahan yang dilakukan oleh pihak produsen. Jika konsumen tidak berhasil membuktikan kesalahan produsen, maka gugatan konsumen akan gagal. Oleh karena berbagai kesulitan yang dihadapi oleh konsumen tersebut, maka sejak tahun 1960-an, di Amerika Serikat diberlakukan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability principle).
Dengan diterapkannya prinsip tenggung jawab mutlak ini, maka setiap konsumen yang merasa dirugikan akibat produk atau barang yang cacat atau tidak aman dapat menuntut kompensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidak adanya unsur kesalahan dipihak produsen.
Sanksi
Sanksi-Sanksi Pelaku Usaha
Sanksi bagi pelaku usaha menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:
  1. Sanksi perdata
Ganti rugi dalam bentuk :
·         Pengembalian uang
·         Penggantian barang
·         Perawatan kesehatan
·         Pemberian santunan
Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
2.      Sanksi administrasi
Maksimal Rp 200.000.000 (Dua Ratus Juta Rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3)
3.      Sanksi pidana
Kurungan:
·         Penjara 5 tahun atau denda Rp 2.000.000.000 (Dua Milyar Rupiah) pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan pasal 18
·         Penjara 2 tahun atau denda Rp 500.000.000 (Lima Ratus Juta Rupiah) pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f
Ketentuan pidana lain (diluar Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian. Hukuman tambahan, antara lain:
·         Pengumuman keputusan hakim
·         Pencabutan izin usaha
·         Dilarang memperdagangkan barang dan jasa
·         Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa
·         Hasil pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat
·          
ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN TIDAK SEHAT
Pengertian antimonopoli
Menurut UU No. 5 Tahun 1999 menyebutkan pengertian monopoli adalah suatu bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha.
Menurut UU No. 5 Tahun 1999 menyebutkan pengertian pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama, melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan  usaha dalam bidang ekonomi.
Menurut UU No. 5 Tahun 1999 persaingan tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Asas dan Tujuan
1.      Asas
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
2.      Tujuan
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.
Kegiatan yang Dilarang
1.      Monopoli
Monopoli adalah situasi pengadaan barang dagangan tertentu (di pasar lokal atau nasional) sekurang-kurangnya sepertiga dikuasai oleh satu orang atau satu kelompok sehingga harganya dapat dikendalikan.
2.       Monopsoni
Monopsoni adalah keadaan pasar yang tidak seimbang, yang dikuasai oleh seorang pembeli; oligopsoni yang terbatas pada seorang pembeli.
  1. Penguasaan Pasar
Penguasaan pasar adalah proses, cara, atau perbuatan menguasai pasar. Dengan demikian pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan pasar baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama pelaku usaha lainnya yang mengakibatkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
  1. Persengkongkolan
Persekongkolan adalah berkomplot atau bersepakat melakukan kejahatan (kecurangan).
  1. Posisi Dominan
Posisi dominan artinya pengaruhnya sangat kuat, dalam pasar 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1999 menyebutkan posisi dominan merupakan suatu keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar  bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa yang dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan, penjualan serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan barang atau jasa tertentu.
  1. Jabatan  Rangkap
Mengenai jabatan rangkap, dalam pasal 26 UU No. 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan  pada waktu yang bersamaan dilarang meragkap sebagai direksi atau komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaan-perusahaan itu :
  1. berada dalam pasar bersangkutan yang sama;
  2. memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha;
  3. secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
  4. Pemilikan Saham
Mengenai pemilikan saham, berdasarkan pasal 27 UU No. 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis dan melakukan kegiatan usaha dalam bidang sama pada pasar bersangkutan yang sama atau mendirikan perusahaan yang sama apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan, antara lain :
  1. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50 % pangsa satu jenis barang dan atau jasa tertentu.
  2. Dua atau tiga pelaku usaha, kelompok usaha dan pelaku kelompok usaha menguasai lebih dari 75 % pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
  3. Penggabungan, Peleburan dan pengambilalihan
Sementara itu, pasal 28 UU No. 5 Tahun 1999, mengatakan bahwa pelaku usaha berbadan hukum maupun bukan berbadan hukum yang menjalankan perusahaan yang bersifat tetap dan terus menerus dengan tujuan mencari keuntungan. Dalam menjalankan perusahaan tindakan penggabungan, peleburan, pengambilalihan yang akan mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat yang secara tegas dilarang.
Perjanjian Yang Dilarang
1.      Oligopoli
Adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar.
2.Penetapan harga
Dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara lain:
  1.   Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
  2. Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.
  3. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk meneteapkan harga di bawah harga pasar.
  4. Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang membuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah dijanjikan.
3.Pembagian wilayah
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.
4.Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
5.Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.
6.Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerjasama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hdup tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya, yang tujuannya untuk mengontol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.
7.Oligopsoni
Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam suatu pasar komoditas.
8.Integrasi vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.
9.Perjanjian tertutup
Pelaku usha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
10.Perjanjian dengan pihak luar negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Hal-Hal yang Dikecualikan dari Undang-Undang Anti Monopoli
  1. Perjanjian yang dikecualikan
  2. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual, termasuk lisensi, paten, merk dagang, hak cifta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu dan rahasia dagang.
  3. Perjanjian yang berkaitan dengan waralaba;
  4. Perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan;
  5. Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah dari harga yang telah diperjanjikan;
  6. Perjanjian kerjasama penelitian untuk peningkatkan atau perbaikan standar kehidupan masyarakat luas;
  7. Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah.
  8. Perbuatan yang dikecualikan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah sebuah lembaga yang berfungsi untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya melakukan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Hal ini diatur berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999, dibentuklah suatu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang bertugas untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Adapun tugas dan wewenang KPPU, antara lain :
  1. melakukan penilaian terhadap perjanjian yang telah dibuat oleh pelaku usaha;
  2. melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya;
  3. mengambil tindakan sesuai wewenang komisi;
  4. memberikan saran dan pertimbangan kebijakan pemerintah terhadap praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat;
  5. menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
  6. melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadi praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
  7. melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau pelaku atau yang ditemukan oleh komisi  sebagai hasil dari penelitiannya;
Sanksi
  1. Sanksi Administrasi
Sanksi administrasi adalah dapat berupa penetapan pembatasan perjanjian, pemberhentian integrasi vertikal, perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan posisi dominan, penetapan pembatalan atas penggabungan , peleburan dan pengambilalihan badan usaha, penetapan pembayaran ganti rugi, penetapan denda serendah-rendahnya satu miliar rupiah atau setinggi-tingginya dua puluh lima miliar rupiah.
  1. Sanksi Pidana Pokok dan Tambahan
Sanksi pidana pokok dan tambahan adalah dimungkinkan apabila pelaku usaha melanggar integrasi vertikal, perjanjian dengan pihak luar negeri, melakukan monopoli, melakukan monopsoni, penguasaan pasar, posisi dominan, pemilikan saham, penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan dikenakan denda minimal dua piluh lima miliar rupiah dan setinggi-tingginya seratus miliar rupiah, sedangkan untuk pelanggaran penetapan harga, perjanjian tertutup, penguasaan pasar dan persekongkolan, jabatan rangkap dikenakan denda minimal lima miliar rupiah dan maksimal dua puluh lima miliar rupiah.
Sementara itu, bagi pelaku usaha yang dianggap melakukan pelanggaran berat dapat dikenakan pidana tambahan sesuai dengan pasal 10 KUH Pidana berupa :
  1. pencabutan izin usaha
  2. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya dua tahun dan selama-lamanya lima tahun,
penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain

PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI
2.3 Pengertian Sengketa
Sengketa adalah perilaku pertentangan antara kedua orang atau lembaga atau lebih yang menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberikan sanksi hukum bagi salah satu diantara keduanya.
2.3.1 Cara – Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Penyelesaian sengketa secara damai bertujuan untuk mencegah dan mengindarkan kekerasan atau peperangan dalam suatu persengketaan antar negara. Menurut pasal 33 ayat 1 (Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan) Piagam PBB penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut:
  1. Negosiasi (perundingan)
Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.
  1.      Enquiry (penyelidikan)
Penyelidikan dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak dimaksud untuk mencari fakta.
  1. Good offices (jasa-jasa baik)
Pihak ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan secara langsung persengketaan yang terjadi diantara mereka. Penyelesaian perkara perdata melalui sistem peradilan:
  • Memberi kesempatan yang tidak adil (unfair), karena lebih memberi kesempatan kepada lembaga-lembaga besar atau orang kaya.
  • 2. Sebaliknya secara tidak wajar menghalangi rakyat biasa (ordinary citizens) untuk perkara di pengadilan.
1.      Negoisasi
Negosiasi adalah sebuah bentuk interaksi sosial saat pihak – pihak yang terlibat berusaha untuk saling menyelesaikan tujuan yang berbeda dan bertentangan. Menurut kamus Oxford, negosiasi adalah suatu cara untuk mencapai suatu kesepakatan melalui diskusi formal.
Negosiasi merupakan suatu proses saat dua pihak mencapai perjanjian yang dapat memenuhi kepuasan semua pihak yang berkepentingan dengan elemen-elemen kerjasama dan kompetisi.Termasuk di dalamnya, tindakan yang dilakukan ketika berkomunikasi, kerjasama atau memengaruhi orang lain dengan tujuan tertentu
  • Beberapa pengertian Negosiasi
Proses yang melibatkan upaya seseorang untuk mengubah (atau tak mengubah) sikap dan perilaku orang lain.
Proses untuk mencapai kesepakatan yang menyangkut kepentingan timbal balik dari pihak-pihak tertentu dengan sikap, sudut pandang, dan kepentingan-kepentingan yang berbeda satu dengan yang lain.
Negosiasi adalah suatu bentuk pertemuan antara dua pihak: pihak kita dan pihal lawan dimana kedua
Mediasi
  • Pengertian Mediasi
Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama proses mediasi adalah perundingan yang esensinya sama dengan proses musyawarah atau konsensus. Sesuai dengan hakikat perundingan atau musyawarah atau konsensus, maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak sesuatu gagasan atau penyelesaian selama proses mediasi berlangsung. Segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari para pihak.
  • Prosedur Untuk Mediasi
  1. Setelah perkara dinomori, dan telah ditunjuk majelis hakim oleh ketua, kemudian majelis hakim membuat penetapan untuk mediator supaya dilaksanakan mediasi.
  2. Setelah pihak-pihak hadir, majelis menyerahkan penetapan mediasi kepada mediator berikut pihak-pihak yang berperkara tersebut.
  3. Selanjutnya mediator menyarankan kepada pihak-pihak yang berperkara supaya perkara ini diakhiri dengan jalan damai dengan berusaha mengurangi kerugian masing-masing pihak yang berperkara.
  4. Mediator bertugas selama 21 hari kalender, berhasil perdamaian atau tidak pada hari ke 22 harus menyerahkan kembali kepada majelis yang memberikan penetapan.
  • Mediator
Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri-ciri penting dari mediator adalah :
  1. Netral
  2. Membantu para pihak tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
  • Tugas Mediator
  1. Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihakuntuk dibahas dan disepakati.
  2. Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses mediasi.
  3. Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus atau pertemuan terpisah selama proses mediasi berlangsung.
  4. Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.
3.      Arbitrase
  • Pengertian Arbitrase
Arbitrase adalah salah satu jenis alternatif penyelesaian sengketa dimana para pihak menyerahkan kewenangan kepada kepada pihak yang netral, yang disebut arbiter, untuk memberikan putusan.
Istilah arbitrase berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa Latin) yang berarti “kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”.
  • Azas- Azas Arbitrase
  1. Azas kesepakatan, artinya kesepakatan para pihak untuk menunjuk seorang atau beberapa oramg arbiter.
  2. Azas musyawarah, yaitu setiap perselisihan diupayakan untuk diselesaikan secara musyawarah, baik antara arbiter dengan para pihak maupun antara arbiter itu sendiri;
  3. Azas limitatif, artinya adanya pembatasan dalam penyelesaian perselisihan melalui arbirase, yaiu terbatas pada perselisihan-perselisihan di bidang perdagangan dan hak-hak yang dikuasai sepenuhnya oleh para pihak;
  4. Azas final and binding, yaitu suatu putusan arbitrase bersifat puutusan akhir dan mengikat yang tidak dapat dilanjutkan dengan upaya hukum lain, seperi banding atau kasasi. Asas ini pada prinsipnya sudah disepakati oleh para pihak dalam klausa atau perjanjian arbitrase.
  • Tujuan Arbitrase
Sehubungan dengan asas-asas tersebut, tujuan arbitrase itu sendiri adalah untuk menyelesaikan perselisihan dalam bidang perdagangan dan hak dikuasai sepenuhnya oleh para pihak, dengan mengeluarkan suatu putusan yang cepat dan adil, Tanpa adanya formalitas atau prosedur yang berbelit-belit yang dapat yang menghambat penyelisihan perselisihan.
Perbandingan antara perundingan, arbitrase Dan Ligitasi
  • Negosiasi atau perundingan
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa dimana para pihak yang bersengketa saling melakukan kompromi untuk menyuarakan kepentingannya. Dengan cara kompromi tersebut diharapkan akan tercipta win-win solution dan akan mengakhiri sengketa tersebut secara baik.
  • Ligitasi
Litigasi adalah sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Sengketa yang terjadi dan diperiksa melalui jalur litigasi akan diperiksa dan diputus oleh hakim. Melalui sistem ini tidak mungkin akan dicapai sebuah win-win solution (solusi yang memperhatikan kedua belah pihak) karena hakim harus menjatuhkan putusan dimana salah satu pihak akan menjadi pihak yang menang dan pihak lain menjadi pihak yang kalah.
Kebaikan dari sistem ini adalah:
  1. Ruang lingkup pemeriksaannya yang lebih luas
  2. Biaya yang relatif lebih murah
Sedangkan kelemahan dari sistem ini adalah:
3.Kurangnya kepastian hokum Hakim yang “awam”
  • Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa yang mirip dengan litigasi, hanya saja litigasi ini bisa dikatakan sebagai “litigasi swasta” Dimana yang memeriksa perkara tersebut bukanlah hakim tetapi seorang arbiter.
Beberapa keunggulan arbitrase dibandingkan litigasi antara lain:
  1. Arbitrase relatif lebih terpercaya karena Arbiter dipilih oleh para pihak yang bersengketa.
    2. Arbiter merupakan orang yang ahli di bidangnya sehingga putusan yang dihasilkan akan lebih cermat.
  2. Kepastian Hukum lebih terjamin karena putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak.
Sedangkan kelemahannya antara lain:
  1. Biaya yang relatif mahal karena honorarium arbiter juga harus ditanggung para pihak
  2.  Putusan Arbitrase tidak mempunyai kekuatan eksekutorial sebelum didaftarkan ke Pengadilan Negeri.

Share:

No comments:

Post a Comment

Keep Traveling

Total Pageviews

Popular

Blog Archive

Recent Posts