KEPEMIMPINAN
DAN BUDAYA
A.
Pengertian Budaya Organisasi
Kebudayaan
dalam bahasa inggris adalah “Culture” dalam bahasa Latin adalah “Colere” dan
dalam bahasa Indonesia juga diistilahkan dengan peradaban atau budi yang dalam
Bahasa Arab disebut dengan “Akhlaq”. Di Indonesia kebudayaan secara etimologi
berasal dari kata Sansakerta yaitu “Buddhayah”, bentuk jamak dari kata “Buddhi”
(akal) sehingga dikembangkan menjadi budi-daya, yaitu kemampuan akal budi
seseorang atau sekelompok manusia.
Budaya
adalah perilaku konvensional masyarakatnya, dan ia mempengaruhi semua tindakan.
Budaya adalah kesatuan nilai dan asumsi yang dipegang oleh kesatuan sumber daya
manusia. Budaya juga merupakan sebuah sistem progresif yang terus
berkembang. Budaya organisasi adalah
satu wujud anggapan yang dimiliki, diterima secara implicit oleh kelompok
tersebut rasakan, pikirkan, dan bereaksi terhadap lingkungannya yang beraneka
ragam.
Budaya
merupakan pola asumsi yang diciptakan, atau dikembangkan agar orang dapat
menyesuaikan diri dengan kehidupan organisasi. Budaya organisasi merupakan
sebuah konsep yang sulit didiagnosis. Definisi ini menyoroti tiga karakteristik
budaya organisasi yang penting. Pertama,
budaya organisasi diberikan kepada para karyawan baru melalui proses
sosialisasi. Kedua, budaya organisasi mempengaruhi perilaku kita ditempat
kerja. Ketiga, budaya organisasi berlaku pada dua tingkat yang berbeda.
Masing-masing tingkat bervariasi dalam kaitannya dengan pandangan keluar dan
kemampuan bertahan terhadap perubahan.
Menurut
Robbins, budaya organisasi adalah suatu persepsi bersama yang dianut oleh
anggota suatu organisasi. Cara berpikir dan melakukan sesuatu yang mentradisi
yang dianut bersama oleh semua anggota organisasi, dan para anggota baru harus
mempelajari atau paling sedikit menerimanya sebagian agar mereka diterima
sebagai bagian dari organisasi (Eliott Jaeques).
Menurut
Wheelen dan Hunger budaya organisasi adalah himpunan dari kepercayaan, harapan
dan nilai yang dianut bersama oleh anggota organisasi dan diwariskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Budaya organisasi adalah sistem makna dan
keyakinan bersama yang dianut oleh para anggota organisasi yang menentukan,
sebagian besar, cara mereka bertindak.
Menurut
Koentjaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan
hasil karya manusia, dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik
dari manusia dengan belajar. Disamping itu, Mohammad Hatta memberi definisi
kebudayaan adalah ciptaan hidup dari suatu bangsa. Sedangkan Zoetmulder memberi
definisi kebudayaan adalah perkembangan terpimpin oleh manusia budayawan dari
kemungkinan-kemungkinan dan tenaga-tenaga alam terutama alam manusia, sehingga
ia merupakan sutau kesatuan yang harmonis.
Kebudayaan
dekat kaitannya dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan, baik ilmu-ilmu ekstra
maupun ilmu-ilmu sosial sebagaimana telah diuraikan dimuka terutama karena
membicarakan tentang fenomena masyarakat. Budaya dapat meliputi antara lain :
a. Sistem Mata Pencaharian.
b.
Sistem Pendidikan.
c. Sistem Persembahan.
d.
Sistem Seni.
e. Sistem Moral.
f. Sistem Hukum.
g. Sistem Olahraga.
Budaya
merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat,
namun setiap unsur masyarakat berbeda pula budayanya, seperti antara masyarakat
umum dengan para elitenya. Menurut Benedict R. O’G Anderson, kebudayaan
Indonesia cenderung membagi secara tajam antara kelompok elite dengan kelompok
massa.
Budaya
organisasi dapat diperkuat dengan
mewariskan nilai inti dari satu generasi ke generasi berikutnya. Organisasi
dapat mencapai efektivitas hanya ketika karyawan-karyawannya berbagi nilai.
Nilai dari tenaga kerja yang semakin beragam dibentuk jauh sebelum seseorang
memasuki organisasi. Oleh karena itu merekrut, memilih, dan mempertahankan
karyawan yang nilainya paling cocok dengan nilai perusahaan merupakan hal yang
penting.
Pada
hakikatnya budaya adalah kesatuan nilai dan asumsi yang dipegang oleh kesatuan
sumber daya manusia. Budaya juga merupakan sebuah sistem progresif yang terus
berkembang. Berbeda dengan peraturan yang bersifat kognitif, budaya pada
umumnya lebih mengakar dan lebih berpengaruh pada tingkah laku karyawan.
Mengingat bahwa organisasi adalah kesatuan sebagai suborganisasi, maka selalu
ada kemungkinan bahwa budaya yang dominan di bagian-bagian tertentu bisa
berbeda dengan budaya yang dominan di bagian lainnya.
B. Dimensi Budaya Organisasi
Riset mengemukakan bahwa ada tujuh
dimensi yang secara keseluruhan menangkap hakikat budaya organisasi (Robbins
dan Coulter). Dimensi-dimensi itu digambarkan sebagai berikut :
1) Inovasi dan pengambilan resiko.
Kadar seberapa jauh karyawan didorong untuk inovatif dan mengambil resiko.
Kadar seberapa jauh karyawan didorong untuk inovatif dan mengambil resiko.
2) Perhatian ke hal yang rinci atau
detail.
Kadar seberapa jauh karyawan diharapkan mampu menunjukkan ketepatan, analisis, dan perhatian yang rinci atau detail.
Kadar seberapa jauh karyawan diharapkan mampu menunjukkan ketepatan, analisis, dan perhatian yang rinci atau detail.
3) Orientasi hasil.
Kadar seberapa jauh manejer berfokus pada hasil atau keluaran bukannya pada cara mencapai hasil itu.
Kadar seberapa jauh manejer berfokus pada hasil atau keluaran bukannya pada cara mencapai hasil itu.
4) Orientasi orang.
Kadar seberapa jauh keputusan manajemen turut mempengaruhi orang-orang yang ada dalam organisasi.
Kadar seberapa jauh keputusan manajemen turut mempengaruhi orang-orang yang ada dalam organisasi.
5) Orientasi tim.
Kadar seberapa jauh pekerjaan disusun berdasar tim bukannya perorangan.
Kadar seberapa jauh pekerjaan disusun berdasar tim bukannya perorangan.
6) Keagresifan.
Kadar seberapa jauh karyawan agresif dan bersaing bukannya dari pada kerjasama.
Kadar seberapa jauh karyawan agresif dan bersaing bukannya dari pada kerjasama.
7) Kemantapan atau stabilitas.
Kadar seberapa jauh keputusan dan tindakan organisasi menekankan usaha untuk mempertahankan status quo.
Kadar seberapa jauh keputusan dan tindakan organisasi menekankan usaha untuk mempertahankan status quo.
C.
Nilai-nilai Organisasi
Nilai-nilai dan dan keyakinan
organisasi merupakan dasar budaya organisasi. Keduanya juga memainkan peranan
penting dalam mempengaruhi etika berperilaku. Nilai memiliki lima komponen
kunci :
(1)
konsep kepercayaan,
(2)
mengenai perilaku yang dihendaki,
(3)
keadaan yang amat penting,
(4)
pedoman menyeleksi atau mengevaluasi kejadian dan perilaku,
(5)
urut dari yang relative penting.
1. Nilai Pendukung
Menunjukkan nilai-nilai yang
dinyatakan secara eksplisit yang dipilih oleh organisasi. Nilai-nilai pendukung
tersebut merupakan aspirasi yang akan dikomunikasikan secara eksplisit kepada para karyawan, para manejer seperti
Levin berharap bahwa nilai-nilai pendukung tersebut akan mempengaruhi perilaku
para karyawan secara langsung.
2. Nilai-nilai yang diperankan
Merupakan nilai dan norma yang
sebenarnya ditunjukkan atau dimasukkan kedalam perilaku karyawan. Sistem nilai
organisasi menggambarkan pola yang bertentangan dan yang cocok diantara
nilai-nilai, bukan diantara nilai yang relative penting. Definisi ini
menekankan poin bahwa organisasi menggunakan sekumpulan nilai yang terdiri dari
nilai-nilai yang cocok atau yang bertentangan.
3. Tipologi Nilai-nilai organisasi.
Norma penghargaan organisasi
menunjukkan keyakinan fundamental perusahaan mengenai bagaimana penghargaan
harus dialokasikan. Menurut norma penghargaan yang setara, penghargaan harus
sebanding dengan kontribusi. Struktur kekuasaan organisasi mencerminkan
keyakinan dasar perusahaan mengenai bagaimana kekuasaan dan wewenang harus
dibagikan dan di distribusikan.
4. Riset Aplikasi Praktis.
Organisasi menganut konstelasi
bukannya hanya satu nilai saja dan dapat ditampilkan berdasarkan nilai mereka.
Hal ini pada gilirannya, akan membuat manejer mampu untuk menentukan apakah
nilai-nilai organisasi konsisten dan mendukung inisiatif dari tujuan
perusahaan.
D.
Nilai-nilai Lintas Budaya.
Dalam membahas nilai-nilai di antara
berbagai budaya, Robbins maupun Robbins dan Judge menggunakan referensi
penelitian Hoftstede. Hoftstede mengemukakan adanya lima dimensi nilai-nilai
dari budaya nasional, yang terdiri dari :
1) Power Distance.
Menjelaskan tingkatan keadaan dimana
orang dalam suatu negara menerima kenyataan bahwa kekuasaan dalam institusi dan
organisasi dibagikan secara tidak sama. High Power Distance berarti bahwa
ketidaksamaan yang besar didalam kekuasaan dan kekayaan terjadi dan ditoleransi
dalam budaya, seperti dalam sistem kelas atau kasta, hal tersebut tidak
mendorong mobilitas keatas. Low Power Distance menunjukkan peringkat
karakteristik masyarakat yang menekankan kesamaan dan peluang.
2) Individualisme versus
Collectivisme.
Merupakan tingkatan keadaan dimana orang
lebih suka bertindak sebagai individu daripada sebagai anggota kelompok dan
mempunyai keyakinan atas hak individual di atas semuanya. Collectivisme
menekankan kerangka kerja sosial yang ketat dimana orang mengharapkan orang
lain dalam kelompok dimana mereka menjadi bagian untuk memelihara dan
melindungi mereka.
3) Masculinity versus femininity.
Masculinity adalah suatu tingkatan
dimana budaya menyukai peran tradisional maskulin seperti prestasi, kekuasaan,
dan pengawasan dan menentang pandangan bahwa antara pria dan wanita adalah
sama. High masculinity mengindikasikan budaya bahwa terdapat peran terpisah
untuk pria dan wanita, dengan pria mendominasi masyarakat. High masculinity
berarti budaya melihat sedikit perbedaan antara peran pria dan wanita dan
memperlakukan wanita sama dengan pria dalam semua hal.
4) Uncertainty Avoidance.
Dalam budaya yang menilai tinggi pada
uncertainty avoidance, orang mempunyai peningkatan tingkat kegelisahan tentang
ketidakpastian dan ambiguitas dan menggunakan hukum dan control untuk menerima
ketidakpastian. Budaya dengan low uncertainty avoidance lebih menerima
ambiguitas, kurang orientasi pada aturan, mengambil lebih banyak resiko dan lebih
siap menerima perubahan.
5) Long-term versus Short-term
Orientation.
Merupakan tipologi Hoftstede terbaru
mengukur kesetiaan masyarakat pada nilai-nilai tradisional. Orang dalam budaya
dengan long-term orientation melihat kemasa depan dan penghematan nilai-nilai,
ketekunan dan tradisi. Dalam short-term orientation, orang menghargai waktu
sekarang, mereka lebih siap untuk menerima perubahan dan tidak melihat komitmen
sebagai halangan terhadap perubahan.
E.
Menciptakan Budaya Organisasi Superleadership.
Perubahan dari budaya nasional yang
menjadi yang lainnya mengakibatkan banyak perubahan pada sikap seseorang dan
gaya hidupnya. Organisasi budaya dapat disebut sebagai lingkungan psikologis
mental atau harapan kognitif yang membimbing sikap.
Kepemimpinannya
dipandu dengan enam prinsip, yaitu:
a. Jangan hanya memberi perintah,
tapi komunikasikan.
b. Pemimpin harus mendengar tanpa
prasangka.
c. Mempraktekkan disiplin tanpa formalitas.
d. Kapten yang terbaik memberi
tanggung jawab bukan perintah.
e. Crew yang berhasil tampil dengan
taat.
f. Perubahan yang benar harus
permanen.
F. Fungsi Budaya Organisasi
Sebuah organisasi
memenuhi beberapa fungsi. Fungsi-fungsi tersebut ialah:
1) Memberikan identitas organisasi
kepada karyawannya. Dikenal sebagai inovatif yang memburu pengembangan produk
baru.
2) Memudahkan Komitmen Konflik. Untuk
menjadi sebuah pemimpin dimana para karyawannya bangga menjadi bagian darinya.
3) Mempromosikan Stabilitas sistem
nasional. Mencerminkan taraf dimana lingkungan kerja dirasakan positif dan
mendukung, dan konflik serta perubahan diatur dengan efektif.
4) Membentuk perilaku dengan membantu
manejer merasakan keberadaannya. Fungsi budaya ini membantu para karyawan
memahami mengapa organisasi melakukan apa yang seharusnya dilakukan dan
bagaimana perusahaan bermaksud mencapai tujuan jangka panjangnya.
G. Mempengaruhi Perubahan Budaya.
Hanya ada sedikit penelitian mengenai
perubahan budaya. Kesulitan dalam menciptakan budaya bahkan menjadi lebih
kompleks ketika berusaha melakukan suatu perubahan budaya signifikan. Perubahan
tersebut ialah:
1). Budaya
begitu membingungkan dan tersembunyi sehingga budaya tidak dapat didiagnosis,
dikelola, dan diubah secara cukup.
2). Karena
diperlukan teknik yang sulit, keterampilan yang langka, dan waktu yang cukup
untuk memahami budaya, serta bahkan lebih banyak waktu lagi untuk mengubahnya,
usaha yang terencana dan terperinci dalam perubahan budaya bukan merupakan hal
yang benar-benar praktis.
3). Budaya
membantu orang bertahan menghadapi periode kesulitan dan berperan menghilangkan
kecemasan. Salah satu cara budaya melakukan hal ini adalah dengan menyediakan
kontinuitas dan stabilitas.
Ketiga pandangan tersebut
mengisyaratkan bahwa manejer yang tertarik untuk melakukan perubahan budaya
berhadapan dengan tugas yang sulit. Akan tetapi, ada pemimpin berani, yang
yakin bahwa mereka dapat turut campur dan melakukan perubahan dalam budaya.
H. Tipologi Budaya Organisasi
1). Budaya
dominan, mengungkap nilai-nilai inti yang dianut bersama oleh suatu mayoritas
anggota organisasi tersebut.
2). Sub
budaya, budaya-budaya mini dari suatu organisasi, yang lazimnya ditentukan oleh
rambu departemen dan geografis.
3). Niali
inti, nilai primer atau dominan yang diterima di seluruh organisasi tersebut.
4). Budaya
kuat, budaya dimana nilai-nilai dipegang secara intensif dan dianut bersama
secara meluas.
5). Budaya
nasional, mempunyai dampak yang lebih besar pada karyawan daripada budaya
organisasi.
Robert Kreitner da Angelo Kinicki
mengatakan bahwa terdapat tiga tipe umum budaya organisasi yaitu sebagai
berikut:
1). Budaya
konstruktif yaitu budaya diaman para karyawan di dorong untuk berinteraksi
dengan orang lain, dan mengerjakan tugas dan proyeknya dengan cara yang akan
membantu mereka dalam memuaskan kebutuhannya dan untuk tumbuh berkembang.
2). Budaya
pasif-defensif adalah budaya yang memungkinkan karyawan berinteraksi dengan
karyawan lain dengan cara yang tidak mengancam keamanan kerjanya sendiri. Tipe
ini mendorong keyakinan normative yang berhubungan dengan persetujuan,
konvensional, ketergantungan, dan penghindaran.
3). Budaya
agresif-defensif adalah budaya yang mendorong karyawannya untuk mengerjakan
tugasnya dengan keras untuk melindungi keamanan dan status mereka.
Tipe budaya ini lebih bercirikan
keyakinan normative, yang mencerminkan oposisi, kekuasaan, kompetisi, dan
perfeksionis. Para peneliti sudah berusaha mengidentifikasi dan mengukur
berbagai tipe budaya organisasi dalam rangka mempelajari hubungan antara tipe
efektivitas budaya dan organisasi. Pencarian ini di dorong oleh kemungkinan
bahwa budaya tertentu lebih efektif dibandingkan dengan yang lain.
Terdapat tiga tipe umum budaya
organisasi, konstruksif, pasif-defensif, dan agresif-defensif. Dan setiap tipe
hubungan dengan seperangkat keyakinan normative yang berbeda. Keyakinan
normative mencerminkan pemikiran dan keyakinan individu mengenai bagaimana
anggota dari sebuah kelompok atau organisasi tertentu diharapkan menjalankan
tugasnya dan berinteraksi dengan orang lain.
Budaya konstruktif adalah budaya
dimana para karyawan di dorong untuk berinteraksi dengan orang lain dan
mengerjakan tugas dan proyeknya dengan cara yang akan membantu mereka dalam
memuaskan kebutuhannya untuk tumbuh dan berkembang. Tipe budaya ini mendukung
keyakinan normative yang berhubungan dengan pencapaian tujuan aktualisasi diri,
penghargaan yang manusiawi, dan persatuan.
Sebaliknya, budaya pasif-defensif
bercirikan keyakinan yang memungkinkan bahwa karyawan berinteraksi dengan
karyawan lain dengan cara yang tidak mengancam keamanan kerjanya sendiri.
Budaya ini mendorong keyakinan normative yang berhubungan dengan persetujuan,
konvensional, ketergantungan, dan penghindaran. Akhirnya, perusahaan dengan
budaya agresif-defensif mendorong karyawannya untuk mengerjakan tugasnya dengan
keras untuk melindungi keamanan kerja dan status mereka. Tipe budaya ini lebih
bercirikan keyakinan normative yang mencerminkan oposisi, kekuasaan,
kompetitif, dan perfeksionis.
I. Wujud Budaya Organisasi
Lewis yang dikutip oleh Octa Melia
Jalal mengelompokkan budaya organisasi ini menjadi empat, yaitu:
1). Simbol-simbol, terdiri dari logo, slogan,
upacara-upacara, cerita-cerita yang sering disampaikan orang dalam organisasi
tersebut.
2) Proses, merupakan metode
organisasi untuk melaksanakan tugasnya, seperti jalur pertanggung jawaban,
desain pekerjaan, strategi manajemen dalam pengambilan keputusan, jalur
komunikasi resmi, dan peraturan-peraturan tentang pertemuan.
3) Format, merupakan benda-benda yang
bisa langsung observasi, seperti desain bangunan, tata letak ruang, furniture,
dokumen-dokumen resmi, pidato-pidato.
4) Perilaku, merupakan manifestasi
symbol-simbol , proses dan format yang ada di organisasi.
Ditingkat berikutnya, budaya
organisasi terdiri dari kepercayaan, dan nilai-nilai. Ditingkatan yang paling
dalam, budaya organisasi tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan
permasalahan dalam organisasi. Asumsi dasar ini biasanya mendasari kepercayaan
dan niali-nilai anggota organisasi.
J. Menciptakan dan Memepertahankan Budaya.
Robbins mengatakan bahwa budaya
organisasi itu tidak muncul dari ruang yang hamppa atau dari langit. Jadi ada
suatu kekuatan yang mempenagruhi terciptanya suatu budaya organisasi. Asal mula
budaya organisasi di sini pendiri membangun nilai tertentu di organisasinya,
kemudian dikembangkan dan dipakai sebagai rujukan oleh anggota organisasi.
Robbins mencatat bahwa ada tiga
kekuatan yang berperan dalam mempertahankan suatu budaya, sebagai berikut:
1). Praktik
seleksi, dalam keputusan final, seperti siapa kandidat yang akan dipekerjakan
sangat dipengaruhi oleh penilai, pengambil keputusan tentang seberapa baiknya
kandidat akan cocok dengan organisasi akan sangat berpengaruh terhadap upaya
pelestarian budaya organisasi.
2). Manajemen
puncak, melalui keteladanannya dalam berperilaku dalam menegakkan norna-norma
yang ada akan menentukan tetap tegaknya budaya yang telah disepakati.
3). Sosialisasi,
yaitu proses yang mengadaptasikan para karyawan pada budaya organisasi itu.
Kegiatan sosialisasi dilaksanakan sejak tahap pra kedatangan, suatu kurun waktu
pembelajaran yang dilakukan sebelum seseorang karyawan baru bergabung secara
resmi dengan organisasi.
Sosialisasi kemudian dilakukan pada
tahap perjumpaan, tahap dalam mana pegawai baru menyaksikan seperti apa
sebenarnya organisasi itu dan menghadapi kemungkinan bahwa harapan dan
kenyataan dapat berbeda. Tahap sosialisasi selanjutnya adalah apa yang disebut
dengan tahap metamorphosis, suatu tahap dalam proses sosialisasi dimana para
pegawai baru menyesuaikan diri pada nilai dan norma kelompok kerjanya.
No comments:
Post a Comment